29. Mendengar sejarah

30 11 0
                                    

Baju mereka berdua seketika basah kuyup, peluh bau keringat menghancurkan mood cewek dan cowok indigo itu.

Prajurit menyilangkan tangan, menggeleng kepala melihat tingkah keduanya duduk selonjoran di lantai. Baru saja melewati dua tangga, malah harus menanggung malu.

"Sialan, dari tadi lebih baik tidak usah kesini huh," keluh Akhtar mengusap keringat.

Tujuan pun ada didepan. Prajurit menyilangkan kaki di kursi, ruangan seluas 500 m². Ruangan ini tak kalah menarik, deretan tembok penuh oleh senjata. Mulai dari pistol, pedang kecil sampai besar. Mina menelan ludah kasar. Walaupun ruangan ini menarik, vibes seram tetap melapisinya.

"Menyeramkan atau tidak menurut lo?" bisik Akhtar disela-sela Mina menuturkan tujuannya kemari.

Mina menatap sinis. "Gue sangat setuju sama kata pertama sih."

"Bagaimana anak-anak, apakah seperti ini bukunya?"

Mata Mina berbinar, gigi putihnya terlihat. "Benar wahai Prajurit. Terimakasih."

Prajurit mengangguk. Sementara ketua Prajurit yang menghantarkan mereka tidak terlihat.

Mata Akhtar melesat mencari seseoran. "Kemana Paman tadi?"

"Oh ya. Dia adalah ketua kami. Mari saya saja yang menghantarkan kalian anak-anak."

Perjalanan pulang diwarnai keheningan, suara ketukan sepatu sudah menjadi sarapan beberapa hari ini.

"Oh ya siapa namamu wahai anak muda?" dagunya menodong ke arah Akhtar, memecah keheningan.

"Akhtar."

"Nama yang bagus. Kamu seorang indigo?"

"Bisa dibilang begitu."

"Ahh bagus sekali. Kami kerajaan Jin butuh manusia spesial. Sebelumnya ada tapi mereka terbunuh di peperangan enam tahun silam. Dia adalah anakku." Prajurit menunduk diakhir kata.

"Apa? Saya tidak terlalu paham dengan Anda. Anak anda seorang manusia, dan maaf anda sendiri...?"

"Seorang Jin."

"Mengapa bisa?"

"Aku menikahi seorang manusia. Ini tidak terlalu masuk akal. Tapi biarlah, kenyataan memang begitu Nak."

"Apa seluruh Jin disini sebelumnya menjadi manusia?"

"Kau terlalu mengikuti alur manusia Nak. Jelas tidak mungkin ada manusia mati dan berkeliaran. Itu hanya fiksi. Kenyataannya adalah Jin menjelma menjadi manusia yang mati itu. Jangan terlalu percaya pada dongeng, tidak ada arwah manusia."

"Benarkah? Tapi.... Teman saya si Felix dia manusia biasa. Mengapa bisa melihat kalian?"

"Mudah saja. Disini kami memang sengaja menampakkannya, suatu ketika kami keluar ke dunia luar. Kami tidak ingin menampakkan, kasihan."

"Benar. Didunia kami semua takut pada Jin." Mina sedikit tertawa, mengingat dia juga di dunianya sedikit penakut.

"Istana ini berdiri sejak jutaan tahun lalu. Entah siapa pendiri seorang ratu atau raja, tidak ada yang mengetahui. Saya sendiri mengabdi disini baru dua ribu tahun lalu."

"Baru katanya," bisik Akhtar iseng.

"Ratu sendiri adalah seorang emban dahulu. Sejak empat ribu tahun lalu dia di angkat menjadi Ratu. Menurut teman-teman, pemimpin sebelumnya seorang Ratu lagi. Entah siapa dia, tak ada yang tahu." Tanpa di suruh menjelaskan terlalu jauh, Prajurit satu ini antusias sekali.

"Tidak kerasa bukan. Kita sudah sampai anak-anak."

Mina melempar pandangan pada Akhtar, raut wajahnya jelas terlihat bingung.

Transmigrasi Indigo [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang