22. Cahaya misterius

52 22 2
                                    

Lorong puskemas riuh oleh kedatangan anak muda tersebut. Mina berteriak memanggil seluruh petugas, kondisi Mona bertambah parah dengan muntah dan darah dari hidung semakin banyak.

Moza menghela nafas berhenti, mencegat Mina agar tenang. Mereka pun duduk bersama, Mina menyadarkan kepalanya di bahu Moza, matanya menahan air mata.

"Apa Mona punya penyakit?"

Moza menggeleng. Mina pun melamun dalam pikirannya.

Felix pun datang karena beberapa suster bertanya pada dia. Felix menghembuskan nafas memijat pelipisnya, menyadarkan punggung dan menutup mata berat.

Mina berdiri, ia berjalan ke keluar tak ada yang menyusul dia. Dia menghirup udara segar, retinanya menangkap cahaya berkelap-kelip di gelang yang melekat pada tangan.

Mina meraba gelang itu, gelang terbuat dari kayu asli, mengeluarkan sinar kecil yang indah. Mina mengecek ponselnya, beberapa panggilan telfon dari Akhtar. Ia mengabaikan, lalu pergi ke toilet sebentar.

Brukk

Mina kaget, ada suara seperti benda jatuh. Ia tetap waspada enggan membuka pintu WC. Mina meneguk lidah, keringat dingin mengucur, matanya mengintip dari lubang kecil, tapi disana kosong tak ada siapapun, tak ada yang aneh.

Perlahan pintu dibuka, ia mencari tahu asal suara tadi, tiba-tiba...

"Na."

"AAAA!"

Tepat sekali dari arah belakang muncul Felix, Mina loncat ke pintu WC. Mengelus dada.

Felix menatap heran sambil tertawa keras. "Lo kenapa sih, dari tadi sensitif terus."  Mina menggeleng, menutup wajahnya dengan tangan.

"Sekarang gue tahu Lix. Kalau semua yang terjadi ini ada perbuatan orang."

"Maksud lo... Makhluk-makhluk itu suruhan orang?"

"Lebih dari pada itu. Dia mengerikan, entah apa tujuan gue gak tahu."

Mina berlirih, tersenyum sendu, "Ini salah gue Lix, akibatnya Ibu lo juga kena. Semuanya kena."

"Nggak Na, lo gak salah. Gue bakal bantu lo nyari tahu, Felix berkata semangat, mengepalkan tangan di udara.

Felix bertanya, "Apa lo gak punya petunjuk Na?"

"Ada. Beberapa akhir ini gue nemu petunjuk. Tapi... itu mengarah pada orang-orang yang gue kenal. Gue ga yakin mereka melakukan itu," tutur Mina, memegang dagunya.

Alis Felix menyatu. "Siapa Na?"

"Gue belum siap ngasih tahu. Gue gak mau lo ikut curiga, tapi cepat atau lambat gue kasih tau lo kok," lirih Mina lesu.

"Na, gue harap lo percaya sama gue. Inget ini Na, lo harus berbagi masalah lo. Jangan memendam masalah sendiri. Lo butuh bantuan, lo mahluk sosial."

Mina tersenyum lebar. "Gue tahu, kok. Tapi mungkin kalau lo ada di posisi gue. Lo bakal ngelakuin hal yang sama."

"Gue pergi dulu ya Lix, oh ya suatu gue gak ada dan masalah belum selesai. Lo jagain ibu Lo, jangan menyerah. Semangat." Mina membungkuk badan, berjalan malas. Dan Felix menatap sendu punggung Mina yang mulai menghilang.

Mina melihat Dokter yang keluar dari ruangan, ia bergegas mencegat sang Dokter. "Dokter, keadaan teman saya gimana Dok?"

"Tidak apa-apa Neng, Mona baik-baik saja, dia hanya kelelahan," pungkas Dokter itu sambil tersenyum.

Mina menghela nafas. "Tidak ada masalah serius Dok?"

"Tidak," terang sang Dokter lalu pergi.

Mina menengok ke arah Moza yang tengah meringkuk, tanpa air mata disana. Tapi raut wajahnya amat menyedihkan.

Transmigrasi Indigo [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang