Best Brother Ever [Edited]

2.8K 230 0
                                    

[Edited]


Bagian 3

Tak terasa aku sudah berada di rumah. Lebih tepatnya berada di kamarku. Tiba-tiba ketukan pintu kamarku menggema dan membuatku terlonjak kaget.

"Ana, ini abang." teriak bang Dhimas dari luar. Bang Dhimas kira ini hutan apa? Pake acara teriak segala.

"masuk aja bang, gak dikunci kok." Jawabku dari dalam dan pintu pun terbuka menampilkan sosok abangku yang rupawan bak malaikat. Malaikat ke cebur got. Oke itu lebay.

Bang Dhimas melangkah masuk dan duduk di tepi ranjangku. Aku yang sedang berkutat, ah, pura-pura sibuk dengan laptop di meja belajarku, merasa aneh. Setelah terjadi kebisuan yang tiba-tiba melanda abangku yang super nyeleneh, aku menyadari sesuatu. Ada yang tidak beres.

"ada apa bang, kok tumben ke kamar Ana malam-malam begini?" tanyaku menutup laptop dan menatap abangku yang duduk diam di tepi ranjangku.

"Ana, abang tahu rasanya kek apa. Karena semua yang kamu lakukan sekarang dan kamu rasakan sekarang, abang juga rasakan dulu di masa putih abu-abu." Kalimat yang muncul dari mulut bang Dhimas membuatku merinding. Kesambet setan apa ya, abang Dhimas kok melantur begini.

"bang, sehat kan? Tadi pulangnya lewat jalan raya kan?" tanyaku dengan dahi mengernyit heran.

"abang serius Ana. Abang gak lagi kesambet tapi ini benaran." Jawab bang Dhimas dengan mimik serius. Oke, ini gak lucu, bagaimana bang Dhimas tahu apa yang aku rasakan. Kita kan beda jenis kelamin. Mana dulu dia bilang dia anak yang populer di sekolahnya.

"abang bohong, Ana itu beda sama abang. Dulu abang populer dan keren. Gak kaya Ana yang biasa aja, bahkan kelihatan cupu. Abang gak bakalan ngerti." Jawabku lirih dan mencoba menahan isakan yang akan keluar karena tekanan akan bayang-bayang pem-bully-an yang sangat gencar ku dapatkan.

"kamu salah, abang juga sama kaya kamu. Abang berbohong tentang semua itu." Apa? Abang berbohong? Dulu bang Dhimas selalu bilang kalo dia punya banyak teman. Semua orang di sekolahnya menyukainya. Jadi selama ini dia berbohong. Aku teringat akan sesuatu yang aku harapkan dulu ketika malam minggu.

"tapi abang dulu setiap malam minggu pergi keluar?" tanyaku aku bingung. Dulu aku selalu merengek meminta ikut pergi. Tapi ada saja alasan untuk menolakku.

"abang selalu belajar di rumah teman abang Ana." jawab bang Dhimas lemah dan menunduk. Tampak kesedihan dan rasa bersalah di sana.

"tapi kenapa bang? Kenapa abang membohongi Ana?" tanyaku dengan sedikit isakan. Aku mencoba sekuat tenaga agar isakan itu tidak lolos dari mulutku. Air mataku terjun bebas tanpa halangan. Aku merasa tertipu.

"abang lakukan itu karena abang ingin kamu punya banyak teman." Jawab abangku dan menatap dalam ke mataku.

"tapi bang, nyatanya itu gak berpengaruh sama sekali, kan?" Entah kenapa aku ingin menangis sekarang. Hingga pertahananku pecah. Bang Dhimas jelek banget bikin suasana.

"maafkan abang Ana, abang gak bisa menolong kamu saat mereka mem-bully kamu." Jawab abang Dhimas dan memelukku menyalurkan kenyamanan dan kehangatan ke dalam diriku yang selalu meratapi nasib akan apa yang terjadi padaku.

"Ana senang ada yang mengerti Ana tanpa Ana minta bang. Trims." kueratkan pelukanku pada bang Dhimas menyalurkan semua apa yang aku rasakan setelah sekian lama aku pendam sendiri. Bang Dhimas tidak menjawab tapi tangannya mulai mengelus punggungku sayang. Aku sangat menyayangi abangku. Segila apa pun dia, senarsis apa pun dia, seganteng apa pun dia. Eh, ini bukan kekurangan ya?

Am I a Nerd?Where stories live. Discover now