Kebablasan [edited]

1.2K 79 5
                                    

Bagian 14.

[Edited]

"Akhhhhh!!" Aku mengacak rambut frustasi. Hal yang paling tidak kusukai dalam pelajaran adalah menghafal. Ulangan lisan di depan kelas adalah sebuah bencana. Bila diingat-ingat, aku tak pernah mendapat nilai diatas KKM bila ulangan lisan. Terlebih pelajaran yang tak kusukai. SEJARAH. Alasannya simple, banyak menghafal.

Berparagraf-paragraf kalimat harus dihafal. Berdiri di depan kelas dan mendapat perhatian dari semua orang yang ada di kelas, itu membuat ku dengan mudah kehilangan konsentrasi. Memang aku terlihat cuek dengan memasang tampang datar, namun sejujurnya aku banjir keringat karena nervous. Karena nervouslah hafalanku akan kabur terbirit-birit meninggalkanku dan membuatku tidak pernah mendapat nilai lebih dari KKM.

"Nis, lo sehat kan??" Arthur yang baru saja tiba di cafe menaikkan sebelah alisnya ketika melihatku yang tengah menatap buku sejarah dihadapanku dengan frustasi.

"Gue pusing arthur. Sejak jaman gue SD ampe sekarang, gue gak pernah bagus di hafalan. Semua rumus-rumus selama ini gue terapin. Gak ada yang bener-bener gue hafal." Aku menatap Arthur yang tengah memilih makanan dan minuman dari buku menu di meja.

"Yaudah. Tinggal terapin hal yang sama ke sejarah. Sebenernya sejarah itu malah gampang loh. Kan cuman inget-inget masa lalu."

"Nah! Itu dia! Gue gak mau terjebak dengan masa lalu. Kita itu harus menatap masa depan." Aku menggebrak meja karena terlalu bersemangat membuat pengunjung yang lain menatap kami aneh.
Arthur segera menunduk sebagai permintaan maaf dan segera ku ikuti. Kan tidak lucu, kami diusir karena ribut. Duh, bukan aku banget.

Setelah kejadian memalukan itu, kami pun melanjutkan belajar. Ah, sebal. Aku masih saja merasa bosan. Padahal aku dan Arthur sudah mengganti tempat belajar. Sejarah, benar-benar.

"Eh, Nis, masih ada 1 jam sebelum jam malam lo. Gimana kalo kita keliling dulu bentar. Siapa tahu ada yang bagus." Arthur bertanya dengan sedikit menaik-turunkan alisnya. Menggoda.

"Apaan sih, Thur?" Aku tertawa geli sebelum melihat jam tangan dan mengangguk.

Tunggu, apa ini tawaran nge-date?? Ah, tapi 'kan sahabat juga bisa jalan bareng. Aduh, Nisa kamu jangan rusak persahabatan ini dong. Bikin semua kacau nanti.

"Sestres itu lo gegara sejarah? Ampe rada gila gitu." Arthur menatapku dengan bahasa tubuh merinding. Aku tertawa kesal dan memukulnya. "Udah, kita senyum bareng aja. Jangan sendiri-sendiri gitu."

Sungguh,  pergi hanya berdua dengan Arthur untuk tujuan jalan bareng itu jarang bahkan gak pernah. Selama ini selalu ada Nadien yang bakalan memandu tujuan. Dan jika kami pergi beedua hanya untuk belajar. Nadien pernah ikut, tapi dia selalu pergi duluan karena takut mati kebosanan dan otaknya panas. Yah, terserah sih, kan beda juga mapelnya. Haha.

"Nis, cocok gak?" Arthur memakai sebuah bando berbentuk telinga kelinci berwarna merah muda. Kemudian memonyongakn bibirnya seperti hendak mencium dan berpose seperti foto model dengan mengenakan bando telinga kelinci itu. Gemes. Eh? Sadar, Nis.

"Iya cocok. Terus lo mangkal deh di taman lawang." Aku tertawa, bukannya dilepas Arthur justru semakin menjadi.

"Jangan ah. Nanti yang udah lama mangkal bisa terancam pendapatannya gegara gue. Soalnya belum pernah ada bule banci." Arthur mengembalikan bando itu dengan wajah sombong dan kembali berjalan. Songong ya bocah ini.

"Secara gak langsung lo udah bilang kalo lo itu banci dong." Aku memancingnya dengan kembali tertawa sambil mendorongi punggung Arthur yang ikut tertawa kecil.

Am I a Nerd?Where stories live. Discover now