Janji yang Teringkari [Edited]

721 52 6
                                    

Bagian 16

[Edited]

"Kok lama banget?" Nadien menggaruk rambutnya heran? Sekarang harusnya udah ada teriakannya si amit-Amityah itu, kenapa belum ada alarm heboh?

"Lo coba periksa deh, Nad?" Arthur menunjuk pintu kamar mandi.

"Lah, kok gua, ntar kalo kecoanya terbang ke gua gimana?" Nadien bergidik.

"'Ntar gue tanggkep. Buruan!" Nadienpun dengan berat hati melangkah ke pintu kamar mandi. Tapi, ketika ia mencoba membukanya dengan pelan, tidak ada perubahan, pintu itu tetap tertutup.

'Oh, kurang tenaga mungkin'. Pikirnya. Ia pun mendorong dengan lebih keras, namun tetap tidak mau terbuka. Ia menjadi panik. Ia memanggil Arthur dan Roy untuk bergabung.

"Gak bisa dibuka!" Serunya khawatir. Mereka bertigapun mencoba membuka pintu itu. Tiba-tiba saja terdengar suara berdebam. Arthur pun reflek mendobrak pintu dengan sekuat tenaganya. Setelah beberapa kali mencoba bersama Roy, pintu itu terbuka.

"Arthur..." Bisik Annisa lirih dan tak sadarkan diri.

Apa yang dilihat Arthur sekarang bukanlah apa yang ia harapkan. Tanpa ragu ia mendorong dengan kuat ketiga cewek itu dan mencaci mereka keras. Ia sangat khawatir. Ia bahkan berucap lirih sebelum membawa Annisa ke rumah sakit dengan mobilnya.

"Kalian bakalan ngerasain apa yang Annisa rasain bahkan lebih parah" Arthur berdesis marah dan keluar tanpa peduli reaksi ketiga orang itu.

Sedangkan Roy, terselip rasa sakit ketika Annisa membisikkan nama Arthur sebelum ia tak sadarkan diri. Namun semua berubah ketika dilihatnya Annisa yang tak sadarkan diri dengan kepala yang berdarah. Bukankah itu dapat berakibat fatal? Apakah ketiga orang itu tak pernah belajar biologi. Astaga. Roy geram sendiri dengan pemikirannya. Bukan saatnya untuk membahas hal seperti itu.

Setelah Arthur menghilang dari parkiran sekolah, Roy berbalik menuju kamar mandi yang kembali ditutup dan dijadikan tempat sandera oleh Nadien. Roy bersyukur sekolah telah sepi karena bel masuk telah berdering tak lama Amitya masuk ke dalam kamar mandi.

"Kalian bakalan gue laporin ke polisi dasar wanita-wanita ular." Nadien yang geram hendak bergerak maju menarik rambut Salsa. Namun urung ketika Roy menghentikannya.

"Nadien, gue tau lo pasti marah sama ratu-ratu ular ini. Tapi emosi lo, pasti bakalan berdampak pada Annisa juga ke depannya." Roy berkata santai dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan bersender pada tembok kamar mandi.

"Itu tak akan pernah terjadi karena gue bakalan buat mereka gak bisa lagi nyakitin Annisa." Nadien membalas sengit perkataan Roy.

"Kita harus tenang karena Annisa bukanlah elo yang bisa ngelakuin apapun sesuka dia. Lo pasti lebih paham daripada gue." Roy kembali melontarkan kata-kata yang Nadien sendiri benarkan dalam hati.

"TERUS KITA MAU APAIN MEREKA HAH?" teriakan Nadien membuat Salsa, Kenzi dan Amitya bergetar, mereka saling memandang. Apa mereka sudah keterlaluan? Kalo sampai dia mati, apakah mereka akan dipenjara?

"Kalian masih mau bertahan di sekolah ini? Atau mau masuk berita karena di D.O dengan tidak hormat?" tanya Roy lirih yang membuat semua kepala yang berada di ruangan itu mengerutkan kening dan Roy menyeringai tipis mendapati reaksi mereka.

***

Dengan kecepatan penuh Arthur menjalankan mobilnya. Ia bahkan sudah beberapa kali menerobos lampu merah untuk tiba dengan cepat ke rumah sakit. Ia sudah tak peduli lagi jika pada akhirnya ia akan ditilang oleh polisi. Itu semua tidak penting karena yang terpenting adalah keselamatan Annisa sekarang.

Am I a Nerd?Where stories live. Discover now