Unexpected

22 2 0
                                    

Bagian 20

Sudah beberapa minggu Arthur menjadi dingin kepadaku. Setiap aku meminta Nadien untuk menanyakan hal ini, Nadien bilang Arthur selalu saja menghindari jawaban. Aku hanya ingin  bertiga seperti dulu lagi, saat ArAnDie's Shipper masih hangat dan jalan bersama. Aku mulai putus asa. Disisi lain, bukannya aku tidak suka hanya berteman dengan Nadien. Tapi, Nadien juga punya kehidupan sosial lain disekolah, tidak sepertiku. Ah, apakah Arthur sekarang juga begitu?

Aku menghela napas panjang.

"Kebanyakan menghela napas keras bikin umur pendek tahu, Nis." Nadien yang sejak tadi duduk disampingku mulai mengoceh. Kami tadi sedang memikirkan solusi untuk masalah Arthur.

"Gak ada bukti ilmiah, ah." Aku menjawab malas. "Apa gue menyerah saja ya, Nad?" Aku berkata serius karena sudah benar-benar buntu.

"Maksud lo?" Nadien yang lola kembali. Atau karena ia saking terkejut hingga tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan?

"Iya, gue masih bersyukur kok, punya lo. Terlebih sekarang kan medusa itu udah gak ada. Jadi, gue gak papa gini aja." Aku mencoba tersenyum setulus mungkin. Mencoba meyakinkan Nadien. Nadien diam menatapku, menyelami ekspresiku.

"Ah-, gitu ya? Baiklah kalo gitu." Nadien tertawa hambar. " Arthur emang sejak lahir bego, tapi gue juga gak tahu kalo dia brengsek." Aku tersenyum pahit menanggapi.

"Tapi, gue bakalan minta tolong satu lagi sama lo, yang menyangkut Arthur. Dan gue janji kali ini yang terakhir dan gak bakalan ada lagi yang nyangkut dia. Gue lepasin." Aku menatap Nadien sungguh-sungguh. Nadien hanya tersenyum kecil dan mengangguk semangat.

"Lo tenang aja, Nis. Gue bakalan selalu ada buat lo. Si Arthur itu emang bego. Jadi gak usah mikir dia lagi. Bikin polusi otak." Nadien mengibaskan tangan seperti mengusir lalat. Aku tertawa mendengarnya. Nadien merentangkan tangannya. Aku masuk ke dalam pelukan sahabatnya yang hangat. Aku masih beruntung ada Nadien.

"Gue sayang lo, Nad. Gue berharap bisa sama-sama terus kek gini, sama lo." Aku berkata lirih dipelukannya. Nadien melepas pelukan itu, menatapku dengan pandangan jenaka.

"Elah, Nis. Lo ngomong kaya gue bakalan kemana aja deh. Gue bakalan selalu disini kok " Nadien tersenyum cerah. Iya, Nad. Kamu bakal selalu ada disini, tapi aku tidak.
Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Air mata bahagiaku keluar disaat hatiku merasa perih. Lihat? Kedekatanku dengan Arthur lebih intim karena kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Belajar bersama, kerja kelompok, dan berdiskusi ketika jam pelajaran. Aku menjadi serakah, tidak puas hanya Nadien disampingku.

Bel berbunyi, Nadien segera bangkit tanpa menghitung detik. "Gue belum ngerjain PR, dan harus dikumpul jam ini. Gue duluan, Nis. Bye." Ia langsung berlari menuju gedung kelasnya. "Inget, Nis! Gue bakalan selalu ada buat lo!"

Aku terkekeh dan melambai seadanya. Ia berbalik dan melihat ke arah jam tangannya. Aku yakin ia sedang bersumpah serapah sepanjang larinya. Aku kembali membuka buku dan menyumpal telingaku dengan headset. Aku tak boleh membiarkan pikiranku kosong dan berkeliaran tanpa arah, karena pada ujungnya akan berakhir difakta yang menyakitkan itu.

Tes

Ayolah, Nis! Aku tahu kamu cengeng tapi kenapa harus setiap hari sih, air matanya keluar. Aku kembali menutup bukuku, membawa lututku kedepan wajah. Sedikit isakan lolos.

Ah, kenapa sakit sekali?

"Air mata lo terlalu berharga buat si brengsek itu, Nis." Suara seseorang tiba-tiba terdengar. Terburu-buru aku mengusap pipi yang basah dan segera memasang ekspresi terganggu.

"Air mata siapa, deh. Lo sok tahu." Aku memasang topeng. Memandang langit biru mencoba mengusir rasa sedih.

"Syukur deh, kalo bukan. Mata lo terlalu indah kalo mesti dipasang ekspresi sedih." Roy duduk disampingku, ikut memandang langit. Ia tersenyum kecil. "Dan bodohnya, gue baru tahu saat kita udah mau pisah."

"Dan sejak kapan gue sama lo barengan?" Aku menghindari kata kita dengan Roy. Takut dia kepedean. Aku sudah cukup merelakan satu teman berharga. Aku tidak mau kembali terulang.

"Sejak gue suka sama lo." Roy menoleh perlahan dan menatapku dengan pandangan tidak biasa.

"Ngaco lo." Aku tertawa. Sedikit miris, karena apa yang ada didiriku hingga Roy suka sama aku? Gila, sekolah ini sudah mulai gila. Tidak, tunggu sejak awal memang tidak waras, sekarang, mungkin giliran aku.

"Gue serius." Dia duduk menghadapku dengan punggung tegak. "Gue yakin orang-orang akan berpikir kalo gue ngerebut lo dari Arthur kalo gue nyatain perasaan gue sama lo sekarang. Tapi, gue udah gak tahan lihat lo duduk sendirian, nangisin orang yang bahkan gak perduli sama lo."

Sreeet

Luka baru terbuka. Hatiku sudah ditambal dimana-mana, apakah perlu ditambahi luka yang lain? Bahkan dari orang yang selalu diam saat aku dibully. Bukan menyangkal hanya saja ini terasa tidak adil.

"Lo, mau gue percaya sama kata suka dari lo, saat lo liat dengan mata kepala lo sendiri, orang yang lo suka, dipermaluin didepan banyak orang? Nangis sendirian berulang kali di kamar mandi? Dan lo bilang kalo suka sama gue? Coba lo balik posisinya, gue diposisi lo, lo diposisi gue. Lo tau jawabannya." Aku berkata panjang dengan Roy untuk pertama kali. Ia masih dengan posisi sama, menatapku lurus. Aku kembali menatap langit. Mencoba menghindari tatapannya yang serius.

"Lo, pernah denger gak, sesuatu akan terasa berharga saat ada yang mengambilnya? Dan gue ngerasain itu ke lo."

"Oh, maksudnya lo kehilangan babu gitu, sejak gue sama Nadien dan Arthur jalan bareng?" Aku sinis kali ini. Tidak mengerti jalan pikiran Roy. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Aku tahu ini jam kosong, tapi jika terlalu lama disini, aku hanya akan menyakiti Roy lebih lagi. Jadi, kuputuskan untuk beranjak lergi dari taman. Tanpa kuduga, tanganku ditahan Roy.

"Percaya sama gue, Nis. Hanya saat ini dan disini gue bisa bersama lo. Gue gak bisa lama." Dia berkata ambigu. Pandangannya berubah dari serius menjadi putus asa. Aku lemah, aku melunak. Aku duduk berjongkok didepan Roy. Meskipun duduk berjongkok masih saja lebih tinggi Roy.

"Roy, denger. Gue gak ngerti apa yang bikin lo suka sama gue, tapi, mungkin lo cuman salah ngartiin rasa. Mungkin karena lo itu cuman kasihan sama gue. Atau gue ngingetin lo sama seseorang." Aku melepas tangan Roy perlahan. Memegangnya sesaat. "Gue harap lo bisa nemuin orang yang bener-bener lo sukai."

"Tapi gue beneran suka sama lo." Aku mengeleng.

"Sekarang gue tanya kenapa bisa lo suka sama gua yang gak cantik, suka ngomong kasar ke lu dan orang lain, gue juga gak pinter-pinter amat, gue gak kaya, yang kaya orang tua gue, apalagi yang mau lo cari dari gue?" Aku duduk setelah kehabisan tenaga. Aku memejamkan mata tidak habis pikir dengan jalan pikiran Roy. Roy kembali mengambil tanganku. Apalagi sekarang?

"Mungkin lo gak tahu, tapi gue suka sama lo yang ngomong lembut ke orang yang deket sama lo, lo berusaha ngejaga orang yang deket sama lo dan gak mau nyakitin mereka. Lo cantik, semua cewek cantik, karena mereka gak punya kumis at least. Lo juga gak suka show off saat mereka yang berasal dari keluarga yang serba kecukupan berlomba-lomba tampil kaya, lo cuman jadi diri lo, inget kata lo? Semua orang itu terlahir pinter cuman ada yang rajin dan enggak, jadi itu bukan masalah. Gue cuman pengen lo ngehargain diri lo ketika ada orang lain yang menyukai diri lo. Bukan menolaknya dan menolak diri lo sendiri. Sekali lagi, aku suka kamu, Annisa. Sejak awal."

Omong kosong apalagi. Sejak awal? Sekolah? Tapi kenapa baru sekarang?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 05, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Am I a Nerd?Where stories live. Discover now