Rencana Mereka [edited]

2.3K 140 15
                                    

Bagian 11

[Edited]

Panas, haus, dan tulang-tulangku nyeri. Kapan aku akan tiba di rumah? Kenapa pula taksi tak kunjung lewat. Aku sudah tak kuat lagi berjalan. Aku bersyukur hari ini jalanan sedang sepi. Jadi, aku tak perlu berjalan bersembunyi-sembunyi. Ah, Bang Dhimas, aku butuh Abang. Belum lama Abang pergi aku sudah rindu.

Hari ini, hari terakhir UTS. Dan menjadi hari seperti hari-hari sebelumnya selepas UTS. Aku tak pernah bisa menemukan alasan mengapa 'Mereka' begitu membenciku. Aku salah apa? Cantik juga tidak, pintar? Ah, banyak yang lebih pandai. Kaya? Tidak ada yang tahu bukan? Populer? Sebagai yang dibully, tentu aku nomor satu. Keren? Oh, Ayolah. Bahkan si Juki anak pak Kantin pun tak tertarik denganku. Padahal biasanya dia menggoda semua murid perempuan. Kecuali aku tentu saja.

Rasanya ingin menangis dengan keras sekarang juga. Ketika mengingat tidak hanya ini yang kuterima. Tapi, perkataan Abel dan Denisa yang membuatku merasa dilema beberapa hari belakangan ini. Bukankah Roy sudah terbiasa digosipkan dekat dengan anak perempuan lain di sekolah? Bahkan luar sekolah sekalipun. Tapi, kenapa mereka sama sekali tidak terima jika yang digosipkan itu adalah aku? Reaksi mereka berbeda sekali ketika menggosip antara aku dan anak-anak lain yang digosipkan bersama Roy.

"Wajarlah, orang dia..."
"Oh, pantes dia kan.."
"Gak heran sih."

Itu yang mereka katakan ketika ada yang digosipkan bersama Roy. Kemudian ketika itu aku? Bahkan membicarakannya pun aku enggan bikin sakit hati. Dan Arthur? Kita bersahabatan, Nadien pun juga.

Tak kusadari air mataku sudah terjun bebas dan aku pun berdiri mematung di tengah trotoar. Burung-burung yang terbang pulang seperti sebuah latar belakang yang sendu karena sepi. Bahkan burung pun meninggalkanku.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti mendadak. Aku meliriknya sekilas. Arthur. Aku harus pasang wajah apa? Apa aku harus berlari? Berjalan saja tak sanggup. Berlari hanya akan mengantarkanku ke kuburan lebih cepat. Aku masih berdiri dan menenggelamkan wajahku pada ranselku yang kudekap erat. Mencoba menyembunyikan wajahku dari pandangan Arthur yang berjalan mendekat. Aku malu akan diriku yang lemah ini. Kotor, bau, lecet dan yang lebih mengenaskan tas kesayanganku yang rusak.

"Godness! Anissa, Lo gak papa?" Arthur bertanya dengan nada khawatir yang jelas terdengar olehku. Arthur mendekapku hangat, membuatku ingin melepaskan dekapan tangannya dilenganku. Masalahnya aku sedang dalam kondisi yang tidak baik hanya untuk ditatap sekalipun. Yang mampu kulakukan hanya menggeleng pelan dan tersenyum dibalik ranselku. Malu.

Karena tak tahan Arthur tak kunjung melepas dekapannya, akupun memilih untuk pura-pura pingsan. Kukira tak akan sulit karena aku sedang lemas. Aku bermaksud untuk jatuh ke arah lain tubuh Arthur, namun tangannya yang mendekap lenganku membuatku jatuh ke dalam pelukannya. Diluar dugaanku, Arthur sangat panik. Aku pun juga panik. Bagaimana jika ia tahu aku sedang berpura-pura pingsan? Oh, aku pingsan agar aku terhindar dari tatapan mata Arthur kepada siriku yang  jelek ini, namun jika ketahuan, maluku akan bertambah kuadrat.

Kurasakan badanku diangkat dan dimasukkan ke dalam mobil. Ku lirik sedikit Arthur yang mengambil ranselku dan duduk di depan kemudi. Kumohon, jangan bawa aku ke rumah sakit.

Arthur mengemudi dengan berandal. Entah sudah berapa rambu yang ia langgar. Beruntung tidak ada polisi yang sedang berjaga karena belum masuk jam pulang kerja. Aku yang berbaring dijok belakang sedikit tergoyang-goyang. Kalo aku jatuh, bakalan ketahuan jika aku hanya pura-pura. Ah, aku lelah. Aku mau tidur barang sebentar saja. Rasanya badanku butuh istirahat.

Am I a Nerd?Where stories live. Discover now