Menghindar [Edited]

2.2K 189 2
                                    

[Edited]

Bagian 5

Apakah aku sudah bilang jika si menyebalkan Arthur itu adalah seorang PHP-pemberi harapan palsu-? Atau mungkin aku saja yang terlalu percaya diri. Ah, pokoknya dia menyebalkan. Asal kalian tahu yang dimaksud Arthur dengan jalan dengannya tidak seperti yang kalian bayangkan. Haha, aku sok tahu ya. Tapi serius. Si kutu kupret itu mengajak orang satu kompleks dijalan-jalan malam minggunya. Dia tak tahu bagaimana perjuanganku hingga mengobrak-abrik baju satu lemari hanya untuk memilih yang cocok untuk dikenakan. Hingga akupun menyerah. Aku bingung.

Tapi dewi fortuna berada dipihakku sore itu. Bang Dhimas yang lewat depan kamarku dan melihat kamarku seperti kapal pecah pun menolongku. Dan disinilah aku dengan dress sweetheart simple selutut berwarna hijau muda yang lembut dengan cardingan dan flat shoes yang berwarna senada. Sengaja rambut aku ikat rendah dan kubawa kebahu kiriku.

Aku dan Arthur duduk bersebelahan di restoran bersama beberapa teman Nadien yang parahnya sama sekali tak aku kenali. Beberapa menit lalu ketika aku, Arthur, dan Nadien. Terkejut? Aku juga, ketika melihatnya turun dari mobil Arthur dan menghampiriku lalu terpesona dengan bang Dhimas yang menemaniku menunggu Arthur di depan rumah. Kembali ke restoran, setelah menonton film horror-yang dipilih Nadien-kami kelaparan dan berencana makan makanan cepat saji-yang meminta Nadien juga-tak lama kemudian mereka terkejut melihat serombongan perempuan yang sedang duduk. Memang hanya tiga orang dan yang terkejut hanya Nadien, aku dan Arthur hanya pasang muka datar karena kami tak kenal. Dan Nadien-pun memutuskan ikut bergabung di meja tiga temannya itu.

Akhirnya Akupun menjadi kambing congek karena mereka asik berceloteh dan aku tidak dianggap. Eh, tapi kenapa aku seperti mengharapkan aku dan Arthur berjalan-jalan berdua saja ya? Huh, enyahlah aku tak berpikir seperti itu, mungkin.

Karena aku tak pandai bergaul dan memulai obrolan, membuat teman-temannya Nadien enggan berbincang denganku lama-lama. Dan membuatku mati kutu di sudut meja, sedangkan si kutu kupret Arthur itu ada saja bahan untuk diobrolin ke teman-temannya Nadien hingga akhirnya aku berakhir mengenaskan tanpa berucap sepatah katapun dan berakhir dengan menjadi pendengar setia tentang apa yang sedang dibicarakan.

Karena bosan akupun pamit untuk ke kamar mandi dan sedikit mengurangi atmosfer ketidaknyamanan yang tercipta karena sosok asing diantara mereka atau itu hanya perasaanku sendiri karena sejak tadi yang lain tertawa dan hanya aku yang tersenyum tipis.

"Nadien, gue ke kamar mandi dulu ya?"

"eh? Mau ngapain ke kamar mandi?"

"pertanyaan yang pandai seperti itu apakah harus ku jawab?" aku memutar mata. Kemudian menatap ketiga teman Nadien takut mereka salah paham.

"iya, jangan lama-lama ntar gue tinggal pulang." Arthur menjawab perkataanku sambil senyum gak jelas.

"gue gak tanya lo. Kalo mau ninggal, tinggal aja, gue bisa pulang sendiri." jawabku ketus dan segera pergi dari tempat terkutuk itu.

Ketika selesai melakukan ritual di kamar mandi, aku bercermin dan mencuci tanganku ketika tak sengaja aku melihat salah satu dari 'mereka' ada di kamar mandi dan masuk ke salah satu biliknya. Dia adalah si bando. Untung saja dia tak melihatku. Aku segera keluar dari kamar mandi dan berjalan kembali ke mejaku ketika aku melihat 2 dari 'mereka' duduk di meja yang lumayan jauh dari mejaku tadi. Si kekar dan si ketua. Pantas aku tak melihat mereka karena aku duduk membelakangi mereka.

Lantas tanpa pikir panjang aku segera keluar dari restoran ketika si bando keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arahku. Aku tak mau dipermalukan di depan umum. Jadi aku pulang tanpa berpamitan dengan Arthur, Nadien dan ketiga temannya yang tak ku ingat namanya.

Ketika berada diluar aku ingin menyetop taksi dan pulang hingga tanganku ditahan oleh seseorang. Kepalaku sudah dipenuhi pikiran-pikiran buruk tentang apa yang akan 'mereka' lakukan kepadaku di sini. Hingga sebuah suara menyadarkanku.

"lo mau kemana?" Arthur kutu kupret, pasti dia sedang membuat rencana membunuhku dengan membuatku jantungan.

Kusentak pegangan tangannya. Dan mengelus pelan dadaku menahan jantung yang memompa dua kali lebih cepat karena cemas dan kaget.

"lo mau buat gue mati muda, hah? Gue mau pulang." jawabku dan segera berusaha mencari taksi lagi.

"kenapa? Lo gak suka jalan bareng gue sama Nadien, ya?" Arthur bertanya seperti orang kelaparan, tak bertenaga.

"gue suka, maksud gue, gue seneng. Tapi gue harus pulang." nah, itu dia taksi, ku lambaikan tanganku, tapi, loh kok malah terus. Sial, taksinya isi. Akhirnya aku mengalah dan berjalan ke halte yang berjarak beberapa meter dari restoran itu.

"gue antar ya?" Arthur menahan tanganku, lagi. Nih, anak suka banget sih, menahan orang dengan tiba-tiba.

"gue bisa sendiri, mending lo temenin Nadien. Ntar dia pulang sama siapa kalo lo anter gue?" aku melepas pelan pegangan tangan Arthur dengan pelan.

"dia bisa minta temannya buat anterin. Ntar gue digampar bang Dhimas kalo lo pulang sendiri." gue kira dia khawatir kalo gue pulang sendiri takutnya kenapa-napa ternyata. Dih, harusnya tadi tangannya kusentak lagi dengan lebih keras.

"lo tenang aja bang Dhimas bukan orang kek gitu." Aku memasang wajah datar.

"tetep aja-" perkataan Arthur kupotong karena melihat 'mereka' berjalan keluar dari restoran.

"gue pergi, da." Dan akupun berlari ke halte. Selamat untuk hari ini. Meskipun aku tak pernah tahu reaksi mereka ketika melihatku di tempat umum, karena kami memang tak pernah bertemu, setidaknya aku menghindari skenario terburuknya.

Di halte, aku telah menunggu lama sekitar tiga puluh menit dan menjadi makanan nyamuk, tapi, bisnya tak kunjung datang. Hingga sebuah mobil berhenti di depanku. Dan keluarlah abang Dhimas bersama kak Devi yang tampil cantik malam ini dengan jeans berwarna senada dengan kerudungnya.

"nis? Ngapain disini?" bang Dhimas dengan pertanyaan tak bergunanya. Aku memutar mata jengah.

"lagi foto model. Lagi nunggu bislah bang. Gimana sih abang ini?" kak Devi tertawa seiring bang Dhimas yang cemberut.

"maksud abang, kenapa disini? Bukannya lagi jalan bareng Nadien sama Arthur ya?"

"udah, dan ini mau pulang."

"yaudah abang anterin yuk? Gak papakan Dev?"

"gak papalah Dhim, kalo Nisa mau, ikut aja sama kita." Pernyataan tulus dari kak Devi bukan hanya sebuah basa-basi yang biasa dilakukan pacar kak Dhimas dulu kepadaku ketika mereka akan kencan. Kak Devi dengan senyum tulus menyentuh mata yang indah dan bersinar.

Apakah kak Devi menawariku untuk menjadi obat nyamuk mereka? Kak Devi baik sekali.

"Dev?" bang Dhimas protes.

"Dhimas dia itu adik kamu." kak Devi tersenyum ke arahku lalu menatap tajam bang Dhimas membuatku tertawa.

"gak ah, kak, nanti jadi obat nyamuk lagi, mending aku pulang terus baca novel. Ada novel baru yang belum sempet aku baca." Aku terseyum tulus ke arah kak Devi dan mengejek kak Dhimas.

Akhirnya kak Devi menangguk paham dan kami segera masuk mobil untuk meluncur pulang ke rumah. Malam minggu yang menguras tenaga karena harus memutar otak menghindari 'mereka'. Mulai sekarang aku tak mau pergi malam-malam kecuali jika bersama bang Dhimas karena bang Dhimas adalah jimat keberuntunganku. Ulululu. Jahat sekali aku. Hahaha.

��?�p��

Am I a Nerd?Where stories live. Discover now