Dating With Him? [Edited]

2.4K 189 0
                                    

[Edited]

Bagian 4

Setelah kejadian yang mengharu biru bareng bang Dhimas di kamarku, setiap harinya bang Dhimas selalu mengantar dan jemputku sekolah dan ini sudah hari ketujuh. Dan selama itu juga aku terbebas dari siksaan mereka. Hmm.. sepertinya bang Dhimas adalah jimat keberuntunganku. Mungkin bang Dhimas akan aku jadikan kalung atau gantungan dan akan selalu kubawa kemanapun daripada aku terkena sial terus. Bisa jadi hahaha... tanpa sadar aku tertawa sendiri.

"pagi-pagi sudah ketawa gak jelas aja lu." tiba-tiba sebuah suara menyebalkan diiringi penampakkan yang memuakkan muncul di hadapanku. Lebih tepatnya di belakangku.

"lu yang gaje kalo gue sih udah pasti jelas." Aku menjawab dengan ketus meskipun telah dalam mood yang baik, aku selalu kesal kepadanya.

"suka lo deh. Eh, minggu ikut gue yuk?"

"eh?" karena bingung aku menatap Arthur dari samping dengan mengangkat sebelah alisku.

"iya, besok kan minggu." Ia memainkan alisnya secara aneh.

"gue tahu kalo besok minggu, tapi yang bener aja lo ngajak gue jalan. Ogah banget. Enak dielo eneg digue dong?" tanpa sadar sudut bibirku tertarik ke atas membuat senyum tipis, sangat tipis. Jujur saja aku senang sekali diajak jalan karena selama ini aku tak pernah jalan-jalan bersama teman. Tapi memang dia aku anggap teman ya?

"alah, lo pasti senengkan? Tapi lo gengsi buat bilang ya kan?" hancur sudah kebahagiaanku mengingat ada yang ingin mengajakku jalan. Tak perlu saja jika orang yang mengajakku jalan semenyebalkan Arthur kutu kupret. Senyumku yang sangat tipis tadi telah sirna begitu saja.

"No. udah gue bilang ogah. Jangan bikin gue nyeret lo ke THT deh, buat obatin telinga lo." jawabanku malah membuatnya tertawa dengan keras.

"ayolah, sekalian lo jadi tour guide malam gue ya?" Arthur mengedipkan matanya lucu. Eh? Lucu? Mataku mungkin sudah hipermetropi deh.

Tapi, gila aja, aku kan gak pernah pergi keluar kecuali sama bang Dhimas itu aja sebatas nonton film baru atau cari novel sama buku di toko. Tiba-tiba aja mau jadi tour guide? You must be kidding me.

"as you wish. I'm never do that."

"c'mon. please!?" Arthur memasang puppy eyesnya. Uh, tahan Nisa.

"go away. I say no and still no!!" kataku memalingkan wajah. Athur kutu kupret tak menjawab dan masih memasang puppy eyes-nya dan menangkupkan tangan didepan dadanya. Uh, aku tak tahan. "baik—" belum selesai aku bicara Arthur bersorak gembira.

"hey—gue belum selesai bicara"

"oh, sorry.."

"tapi ada syaratnya, lo harus ngalahin gue dalam ulangan matematika nanti. Gimana?"

"kecil itu mah. Okay deal?!" huh, sombong sekali dia pikir bisa mengalahkan aku, jangan harap Athur kutu kupret.

Aku berbalik menghadap depan dan kembali melanjutkan belajar yang tertunda. Dalam belajarku sempat kudengar bisik-bisik dari teman sekelas perempuanku mengenai aku dan Arthur. Oh, ayolah siapa yang mencari perhatiannya untuk bisa dekat dengannya? Yang ada urat sabarku putus dan berakhir dengan Arthur yang berada di rumah sakit karena kudorong dari lantai 20 dengan sengaja. Aku sudah lelah dengan kehidupan putih abu-abuku yang hanya abu-abu dan buram ini.

Bel masuk pun berdering seiring dengan kelas yang penuh terisi siswa dan pak Amir tak lama datang. Langsung saja beliau membagikan soal ulangan setelah memberi salam dan berdoa. Tak lama kamipun hanyut dalam suasana sibuk mengerjakan soal. Aha—soalnya bahkan sangat mudah dan aku sudah mengerjakan setengahnya ketika waktu baru 30 menit. Arthur kutu kupret itu tidak akan punya kesempatan mengalahkanku.

Astaga soal terakhir benar-benar menguras otakku. Aku terlalu meremehkan ulangan kali ini. Tak lama waktu mengerjakan akan segera selesai dan harus segera diputar untuk dikoreksi bersama. Bel pun berbunyi bertepatan dengan aku memberikan nama pada lembarku. Kegaduhan pun segera terjadi. Ada yang berteriak lega karena telah selesai, ada pula yang berteriak frustasi karena belum selesai yang mencontek. Hihihi.

"baik, anak-anak mari kita koreksi, perputaran kertas seperti biasa. Oh, ya bapak sampai lupa. Nak Arthur mengikuti saja ya? Akan lama kalo bapak jelaskan." Pak Amir mulai memberi intruksi.

"oke, satu angkat! Dua! Tiga! Empat! Lima! Enam! Tujuh! Delapan! Cukup. Hadi, bawa kertas-kertas itu ke depan dan bagikan kepada yang belum memegang kertas." Pak Amir menunjuk salah satu siswa yang duduk di pojok karena semua kertas yang telah diputar akan berakhir disana. Tanpa suara, Hadi maju kedepan dan membagikan kedelapan kertas termasuk miliknya ke semua anak yang belum mendapat bagian mengoreksi.

"seperti biasa, ayo Annisa kedepan kerjakan nomor 1. Dan untuk nomor 2—" pak Amir mengantungkan perkataannya mencoba mencari siswa yang akan dimintanya mengerjakan soal didepan ketika aku berdiri untuk mengerjakan.

"saya pak!" sebuah suara lantang mengejutkan semua. Terkejut senang karena tidak akan ditunjuk untuk maju.

"oh, Arthur? Silahkan, bapak juga ingin tahu kemampuanmu. Katanya di sekolah lamamu kamu ikut lomba matematika ya?" pak Amir mempersilahkan Arthur untuk maju. What? Lomba matematika? Apa ini pertanda aku akan kalah? Tidak Annisa, tidak! Aku harus positif.

Arthur maju dan berdiri di sampingku untuk menulis jawaban. Dengan sedikit tersiksa aku mendongak dan meliriknya sinis. Gila, ternyata dia sangat tinggi dan aku hanya sebatas jakunnya saja. Kami menulis dengan cepat dan sebuah kebetulan, Arthur selesai duluan. Ketika mengembalikan spidol ke tempatnya ia sempat berbisik lirih.

"lo bakalan jalan bareng gue. Lihat aja!" ia kembali duduk. Dengan kesal aku kembali ke mejaku. Berusaha seperti tak terjadi apapun diantara kami di depan. Memangnya terjadi sesuatu ya?

"seperti biasa, jawaban Annisa selalu benar. Dan milik Arthur. Wah, ini caranya lengkap sekali. Bahkan ada cara cepat dan cara umum. Hebat. Memang benar rumor yang beredar tentang kamu dikalangan guru ya Arthur." Pak Amir member pujian kepada Arthur yang membuatku muak. Dih, bagusnya apa coba?

"terimakasih, pak?" cih, sok banget.

Setelah pujian yang seharusnya tidak perlu itu, pak Amir kembali melanjutkan pengkoreksian. Semua nomor telah dikerjakan maju oleh anak yang ditunjuk pak Amir. Hingga tibalah pembacaan nilai.

"seperti biasa saya tidak akan menyebutkan semua nilai. Hanya yang harus mengulang ulangan dan nilai tertinggi saja. Jadi yang mengulang adalah Christien, Rio, Arya, Hadi, Yudi, Abel dan Denisa. Dan niali tertinggi 97 oleh Arthur. Annisa sama Arthur sepertinya akan bersaing terus nih. Annisa nialinya bagus kok gak turun dari yang kemarin, tapi didahului Arthur. Cukup sekian dari saya. Assalamualaikum warahmatullah." Pak Amir pergi meninggalkanku dengan keadaan terkejut. Cobaan apa ini ya Allah.

"you're lose." Arthur memajukan mejanya hingga membentur kursiku. Dengan kesal kutarik kursiku dengan sebuah sentakan keras.

'Damn' umpatku dalam hati namun tak urung sebuah senyum tipis tak bisa kutahan dari bibirku.

Am I a Nerd?Where stories live. Discover now