Misi Pertama [Edited]

1.7K 82 4
                                    

Bagian 13

[Edited]

Aku tahu kami telat 15 menit. Tapi, apa gunanya jika kami harus berlari-lari hanya untuk bertemu Nadien di sana yang memasang tampang marah? Toh, kami tiba lima belas detik setelah Nadien pun, kami akan kena dampratnya yang sangat tidak bermanfaat. Jadi, kami memilih untuk jalan santai saja setelah selesai piket kelas.

"Nis, lo tahu darimana kalo gue satu perguruan taekwondo sama Kenzi?" Roy yang berjalan di sampingku mulai membuka percakapan. Sebenarnya aku ingin membalas singkat, namun mata Roy yang sangat berseri-seri mengurungkan niatku.

"Oh, dari mulut." aku usil menjawab dengan jawaban yang dapat memunculkan dugaan lain.

"Hah? Maksudnya?" Roy memasang wajah bingung. Aku terkekeh pelan.

"Bego emang. Gitu aja pake tanya. Gosip banyak beredar curut. Kayanya lo budeg deh." Arthur menyahut dari belakang. Ekspresinya sangat masam seperti bertemu musuh yang sudah lama menghilang.

"Sorry, gue bukan tipe orang yang suka dengerin gosip. Hal gak guna." Roy mengangkat tinggi kepalanya. Menunjukkan kekuasaan dan sedikit melirik ke belakang menunjukkan tatapan meremehkan.

"Oh, lo baru aja dikatain Roy tuh, Nis. Setahu gue kan lo suka dengerin gosip." Arthur membuat tanda kutip dengan gerakan tangan ketika bicara kata gosip.

"Eh? Nisa beneran suka dengerin gosip? Gue gak nyangka orang kek lo mau dengerin gosip. Biasanya kan tenang." Roy langsung menatapku dengan tatapan menyesal. Aku tersenyum simpul. Aku memang suka mendengarkan gosip, tapi aku tak suka bergosip. Lebih tepatnya tidak ada tempat. Jiwa remaja mana yang tak bergosip pada zaman sekarang? Bahkan siswa laki-laki pun suka bergosip. Yah, mereka tidak menyebutnya gosip, tapi 'pembahasan berita'. Harusnya ditambahkan burung, sehingga tidak ada bedanya dengan para siswi.

"Nis, gue salah ya? Maafin deh." Roy yang merengek membuatku tersadar dari lamunan kecilku. Aku tersenyum.

"Mampus lo. Nisa marah. Tahu rasa lo." Arthur menyahut sebagai kompor di belakang. Aku menolehnya dan tertawa.

"Lo suka banget sih, bikin image gue jelek di depan orang?" Aku melayangkan pukulan ringan ke arah bahunya. Arthur tertawa.

"Sebelum gue pun image lo udah jelek kali, Nis." Arthur kembali tertawa. Aku kembali menghadap depan. Aku diam pura-pura sedih untuk mengerjai Arthur.

"Lo bego ya? Nisa jadi sedih, kan?! Otak dipake dong kalo mau ngomong!" Roy tiba-tiba bersuara. Arthur diam dan aku masih mempertahankan sandiwaraku.

"Sorry, Nis gue gak maksud." Arthur menepuk pundakku. Aku tak bergeming.

"Mampus, udah terlambat." Roy tertawa bahagia diatas muka sendu yang--kuyakini--terpampang diwajah Arthur. Tak tahan lagi, aku mulai ikut tertawa bersama Roy. Ku toleh Arthur yang setia memasang wajah sendunya.

Ketika tiba di taman belakang, Nadien bangkit dari posisinya--duduk dibawah pohon tempat pertemuan--dan berkacak pinggang. Aku tahu ia hanya berpura-pura marah. Sebenarnya ia memang marah, namun entah mengapa itu tak bertahan lama.

"Bagus banget ya?! Telat seperempat jam gak ada rasa bersalah. Malah ketawa-ketiwi gak jelas gitu sepanjang koridor. Mana jalannya cepet banget. Itu siputnya keknya jadi juara deh, tadi ada perayaan gitu disitu." Nadien berkata sarkas dan berusaha tidak menatap ke belakangku dan Roy yang berdiri bersebelahan. Arthur berjalan lagi hingga berdiri di sebelahku. Itu muka kok asem ya?

"Aih, tuan putri kok marah-marah nanti cepet tua loh. Kalo cepet tua tak cantik lagi kan repot." Aku beralih ke Nadien dan merangkulnya. Menusuk pipinya yang sedikit berisi dengan telunjukku.

Am I a Nerd?Where stories live. Discover now