Keempat • Menerima Kenyataan

474 69 1
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Gimana, Pak Harun? Apa anak Bapak sudah mengakui perbuatannya?"

Itu pertanyaan dari Pak Sobri saat Jenaka dan bapaknya kembali ke tempat semula. Jenaka mengunci rapat mulutnya. Matanya lurus menatap Jaya yang sepertinya baru selesai menelepon seseorang.

"Ya, dia bilangnya, sih, jatuh gara-gara ada ulet di bajunya. Laki-laki ini mau niat nolongin Jena," kata Harun.

"Lho, ternyata masih nggak mau ngaku juga, ya."

Masih nggak mau ngaku, emangnya aku harus ngapain lagi biar kalian percaya? Jenaka menggerutu dalam hati. Sungguh dirinya benar-benar pasrah kali ini. Pak Sobri dan Pak Diman tidak bisa disentuh hatinya. Memang benar yang dikatakan Jaya. Mau tidak mau, suka tidak suka dirinya harus mengakui apa yang dilihat dua bapak ini.

"Saya manut apa kata bapak-bapak saja."

Jenaka mendengkus mendengar ucapan Harun. Ya iyalah, mau bagaimana lagi. Bicara jujur dibilang bohong.

"Ya sudah, kalau begitu kita nikahkan saja mereka sekarang," kata Pak Sobri.

Dari kejauhan, muncul sosok perempuan yang Jenaka kenal baru saja turun dari motornya. Matanya terbelalak saat perempuan ini berjalan ke arahnya.

"Mbak Malika? Kok, ke sini?" Tentu saja Jenaka penasaran. Kenapa Malika ke sini? Apa orang yang barusan ditelepon Jaya adalah Malika? 

"Jaya ini sepupu aku, Jen."

Mulut Jenaka menganga. Sumpah, dunia sempit sekali. Siapa yang menyangka kalau Malika dan Jaya ada hubungan darah.

"Pak, saya jamin kalau Jaya ini bukan laki-laki seperti yang bapak-bapak bayangkan. Saya yakin apa yang dijelaskan Jaya, itulah kenyataannya." Malika mulai mengajak Pak Sobri dan Pak Diman bicara. 

"Kamu pasti mau melindungi dia, kan? Wong udah jelas-jelas dia mau buka baju Jenaka," kata Pak Sobri. "Lebih baik dinikahkan saja, to, biar nggak timbul fitnah. Pak Harun sudah setuju."

"Emangnya nggak ada cara lain, Pak? Masa iya harus menikah? Kami nggak berbuat apa-apa, kenapa harus bertanggung jawab?" 

Malika yang beraksi, Jenaka yang kesenangan. Ya, bagus! Lawan lagi mereka!

"Emangnya kalian bisa jamin nggak akan berbuat mesum lagi setelah ini? Nikah itu lebih baik untuk menghindari zina. Kalau kalian nggak nikah, yang ada bikin desa jadi tempat yang terkutuk," jawab Pak Diman.

Beginilah kalau ada yang masih menganggap nikah itu menjadi alasan untuk menghindari zina. Padahal masih banyak cara lain, salah satunya adalah berpuasa. Kenapa, sih, dirinya harus berada di lingkungan yang rata-rata masih sempit pikirannya? 

"Ya sudah, kalau memang hanya itu yang bikin kalian percaya dan nggak bikin ribut lagi, saya bersedia menikahi Jenaka. Ibu saya sudah setuju kalau pernikahan ini harus terjadi. Di sini juga ada sepupu saya, Mbak Malika." Jaya yang sejak tadi diam, kini mengeluarkan suara yang membuat Jenaka semakin terpojok. 

Jelujur Cinta JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang