Jenaka ingin menjadi perancang busana seperti Didiet Maulana meskipun hanya lulusan SMA. Namun, ia harus menelan pil pahit saat mengetahui bahwa instruktur di kelas menjahitnya adalah Jaya, mantan pacarnya tujuh tahun yang lalu.
Karena sebuah inside...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kala itu, Jenaka sedang belajar mengendarai sepeda motor bersama salah satu temannya, namanya Asih. Sebelumnya, Asih sudah mengajari bagaimana cara memegang pedal dan gas dan giliran Jenaka menunggangi motornya di jalan.
"Pokoknya kalau kamu mau belok dan masih takut, kamu berhenti aja dulu. Nanti aku ikutin di belakang, ya." Asih memberikan instruksi dan Jenaka mengangguk paham.
Motor dihidupkan, Jenaka duduk di atasnya. Setelah berhasil menguasai tubuh, ia menggerakkan gas sedikit demi sedikit. Asih mengikuti di belakang menggunakan motor lain.
Jantung Jenaka berdebar kencang hingga tangannya berkeringat, apalagi saat melintasi jalanan yang masih berupa bebatuan. Pada putaran pertama, kedua, dan ketiga, Jenaka berhasil belok dengan mulus. Jenaka mulai tenang dan kembali ke putaran selanjutnya. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama sebab saat akan berbalik arah, ada sebuah sepeda motor yang melintas dari arah berlawanan.
Refleks Jenaka menggerakkan pedal, tetapi yang dipegang justru gas, bukan rem. Sontak saja kecepatan motornya bertambah dan Jenaka kehilangan keseimbangan. Teriakan Asih semakin membuat Jenaka panik hingga kehilangan konsentrasi. Motor akhirnya tidak terkendali dan baru berhenti saat bertubrukan dengan batang pohon. Jenaka tersungkur di jalan.
Dalam sekejap, orang-orang yang melihat kejadian itu langsung menolong Jenaka. Paling banyak dari para mahasiswa KKN yang pada saat kejadian itu sedang duduk semua di pos ronda. Ada yang menegakkan sepeda motor dan ada satu laki-laki yang menarik tangan Jenaka.
"Aduh!" rintih Jenaka saat mencoba berdiri. Ia merasakan perih pada bagian lututnya.
"Kamu duduk sini dulu."
Laki-laki itu memapah Jenaka sampai di sebuah pos ronda. Jarak keduanya sangat dekat hingga Jenaka bisa mencium aroma parfum yang dikenakan pria itu. Sejenak, Jenaka kehilangan fokusnya, sebelum akhirnya kembali merintih kesakitan ketika laki-laki tersebut menyentuh kakinya.
"Lutut kamu berdarah. Ini harus diobati," kata laki-laki itu.
"Motornya?" Jujur saja keadaan motor jauh lebih penting daripada kakinya. Motor tersebut milik Asih. Kalau ada yang rusak, kan, berarti harus memberikan ganti rugi.
"Kamu nggak usah khawatir, motornya udah diambil sama temen kamu. Dia kayaknya juga yang lagi obat buat kaki kamu."
Jenaka mengembuskan napas lega. Syukurlah kalau motor itu sudah diambil oleh Asih. Semoga saja tidak ada yang rusak supaya Asih tidak dimarahi ibunya.
Rupanya benar, Asih datang membawa kotak berisi obat-obatan. Jenaka pikir temannya itu yang akan membersihkan lukanya, ternyata malah laki-laki ini. Jenaka tidak bisa berkutik kala laki-laki itu mengeluarkan kapas, lalu diberi tetesan obat merah, dan diusap pelan-pelan ke kulit yang lecet-lecet. Jenaka menggigit bibirnya menahan perih.
"Udah selesai!" kata laki-laki itu dan matanya menatap wajah Jenaka. Seketika Jenaka terpana. Jika dilihat dari dekat, laki-laki ini cukup tampan. Memiliki garis rahang yang tegas, sedikit kumis, mata bulat, hidung mancung, kulit putih bersih, serta rambut hitam kecokelatan, sepertinya disemir.