Keenam Belas • Sisi Lain

241 46 1
                                    

Saat ikut berkumpul dengan anak-anak KKN, Jenaka selalu melihat beberapa bungkus rokok di meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat ikut berkumpul dengan anak-anak KKN, Jenaka selalu melihat beberapa bungkus rokok di meja. Ada beberapa mahasiswa yang menyalakan, kecuali Jaya. Jenaka mengiranya Jaya tidak merokok. Namun, saat laki-laki itu mengantarkannya ke pasar, di situlah pertama kalinya Jenaka melihat Jaya mengisap rokok.

"Lho, jadi, Kak Jaya ngerokok juga?"

Jaya membuang puntung rokok yang tersisa di tanah, diinjak agar apinya mati. "Iya, Jena. Kenapa?"

"Aku kira Kak Jaya bukan perokok. Soalnya selama ini aku nggak pernah lihat Kakak ngerokok."

Jaya mengambil alih tas belanja di tangan Jenaka. Spontan Jenaka tersenyum tipis. Tanpa diminta, Jaya selalu sigap membantunya. Inilah yang membuat Jenaka semakin kagum.

"Kamu ada masalah dengan perokok?" tanya Jaya.

"Nggak, sih, asalkan yang merokok itu tahu situasi. Misalnya, ada satu kelompok, salah satunya nggak bisa menghirup asap apa pun, tapi ada orang yang dengan sengaja merokok di depan dia, nah itu yang menurut aku bikin kesel. Sama satu lagi, kalau lagi duduk berdua, terus dia nyalain rokok tanpa tanya dulu, aku juga kesel, tuh."

"Jadi kamu nggak apa-apa kalau misalnya Kakak perokok?"

Jenaka terdiam cukup lama. Sebenarnya dia tidak suka, tetapi kalau Jaya yang bertanya, Jenaka jadi ragu untuk menjawabnya. Kalau setelah mendengar jawaban itu, Jaya tiba-tiba memutuskan hubungan ini, bagaimana? Baik, berarti jawabannya harus netral. "Tergantung, sih. Kalau bisa ya mendingan nggak usah ngerokok sekalian. Tapi, kan, itu urusan pribadi masing-masing. Toh, masih jadi pacar, belum jadi suami. Aku nggak mau ngatur-ngatur hidup Kakak. Kalau merokok bikin Kakak senang, ya masa aku larang."

Mereka terus berjalan menerobos hiruk pikuk di kanan-kirinya. Sesekali Jenaka melirik Jaya yang menatap lurus ke depan.

"Sebenarnya, Kakak ngerokok kalau lagi capek aja."

"Hah?" Jenaka mengernyit. "Capek kenapa? Ada masalah?" 

"Ya biasa, ada sesuatu yang bikin situasi jadi runyam. Cara satu-satunya biar pikiran tenang, ya, dengan merokok."

"Aneh. Kalau mau tenang ya cari angin, ini malah cari penyakit. Tapi, mau gimana lagi. Coba Kakak cari cara lain. Mungkin dengan nulis, gambar, atau jalan-jalan. Kan, lumayan nggak ngerusak tubuh." 

"Boleh juga saran kamu." Dengan satu tangannya, Jaya mengelus kepala Jenaka. "Makasih, ya."

Jenaka tersenyum lebar. Dalam hatinya ada sesuatu yang mendesak untuk keluar. Sebisa mungkin Jenaka menahan diri agar tidak berteriak kencang. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan, bahkan dari bapaknya sendiri. Jujur sejak dulu Jenaka memimpikan dirinya begitu disayang seorang laki-laki. Hanya saja Harun tidak pernah memberikan itu. Katanya, suami itu mencari nafkah, sedangkan mengurus anak tugas istri sepenuhnya. 

Maka tidak heran jika selama ini Jenaka lebih dekat dengan sang ibu ketimbang bapak. Jenaka merasa sangat kehilangan ketika ibunya meninggal akibat asap rokok itu. Ibunya merupakan seorang perokok aktif. Setiap hari ibunya mengisap benda itu, apalagi kalau habis bertengkar dengan bapaknya. Sampai akhirnya dokter memvonis ibunya sakit kanker paru-paru. Jenaka berusaha keras agar ibunya tetap hidup. Sayangnya Allah lebih memilih mengambil nyawa wanita kesayangan Jenaka. 

Jelujur Cinta JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang