Jenaka menerima tawaran lomba dari Jaya. Ia sudah siap belajar malam ini. Namun, sejak pamit salat Magrib ke masjid tadi, Jaya belum pulang juga. Di saat seperti inilah Jenaka baru menyadari dirinya tidak memiliki nomor ponsel laki-laki itu.
Sebenarnya Jenaka masih menyimpan nomor Jaya, tetapi itu nomor tujuh tahun yang lalu. Bisa jadi sudah berubah, kan? Ya, memang, sih, ada orang yang punya satu nomor ponsel bertahun-tahun. Akan tetapi, Jenaka sangsi jika Jaya termasuk di dalamnya.
Jadilah sekarang Jenaka menunggu Jaya sembari merebus mi instan. Perutnya lapar, tetapi tidak ada satu pun bahan makanan yang bisa dimasak selain mi instan. Sepertinya Jaya tidak terlalu suka menyimpan sayur atau buah. Pun di sini tidak ada kulkas.
Saat mi matang, Jaya pun datang. Lelaki itu masuk dengan membawa dua kantung plastik putih berukuran besar. Jenaka langsung meletakkan mangkuk berisi mi di meja untuk membantu Jaya.
"Bapak habis belanja? Banyak banget!" seru Jenaka.
"Bapak?" ulang Jaya.
"Oh, iya, maksudnya Kak Jaya. Kenapa belanja banyak? Emang mau ada acara?"
"Nggak ada."
"Terus?"
"Ini belanja buat kebutuhan di rumah, biar kamu nggak perlu pergi ke warung lagi kalau lagi butuh sesuatu."
Jenaka spontan manggut-manggut. "Saya kira Kakak nggak suka belanja bulanan. Soalnya di dapur kosong."
"Itu, kan, karena kemarin saya masih sendiri dan baru di sini juga. Sekarang ada kamu, saya harus cukupi kebutuhan rumah biar kamu nyaman."
Jenaka tertegun mendengar itu.
"Kamu masak mi?" tanya Jaya usai melihat mangkuk mi di meja.
"Iya. Kakak mau?"
"Boleh. Mi goreng, ya. Ini udah saya belikan."
Jenaka mengangguk. Dia lantas mengambil satu bungkus mi instan dan melangkah ke dapur. Sesampainya di tempat itu, Jenaka kembali memanaskan panci yang telah diisi air.
Mi goreng itu jadi dalam waktu singkat. Jenaka membawa piringnya keluar. Saat diletakkan di meja, Jaya sempat terhenyak melihat bentuk mi serta telur ceplok rebus di atasnya.
"Makasih, Jena. Kamu ternyata masih ingat."
Jenaka bungkam setelah itu. Ya, kepalanya langsung berputar ke masa lalu saat memasak mi untuk Jaya barusan. Tujuh tahun yang lalu, dia selalu melihat Jaya membeli mi rebus setengah matang dengan telur ceplok di atasnya. Bu Paimin, penjaga warung saat itu, sampai hafal di luar kepala.
"Cuma kebetulan." Jenaka berkilah. "Sekarang dimakan. Saya nggak mau nunggu lama lagi."
Jaya tersenyum lebar. "Sambil cerita boleh?"
"Terserah." Jenaka memegang garpu, sudah siap menyantap mi rebusnya tanpa melihat Jaya.
Tak lama, Jaya meletakkan ponselnya di dekat mangkuk mi Jenaka. Dari situ, Jenaka bisa melihat dengan jelas wajah seorang anak perempuan berkepang dua dan dipeluk oleh Jaya. Jenaka tidak mengerti kenapa Jaya memperlihatkan foto ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jelujur Cinta Jenaka
Storie d'amoreJenaka ingin menjadi perancang busana seperti Didiet Maulana meskipun hanya lulusan SMA. Namun, ia harus menelan pil pahit saat mengetahui bahwa instruktur di kelas menjahitnya adalah Jaya, mantan pacarnya tujuh tahun yang lalu. Karena sebuah inside...