Kesepuluh - Rujak Buah

433 55 0
                                    

"Masih belum lurus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Masih belum lurus." 

Jenaka mendengkus saat Jaya mengembalikan kertas yang semua garisnya baru saja disetik jarum mesin jahit. Memang benar masih banyak yang keluar garis, bahkan ada yang bolong juga.

Kepalanya menoleh ke kanan-kiri. Jenaka melihat beberapa dari temannya ada yang sudah belajar menjahit lurus di kain, sementara dirinya? Belajar di kertas yang ada garisnya saja masih banyak salahnya. 

"Nggak usah liat-liat orang lain. Setiap orang udah dikasih garis start dan finish masing-masing. Nggak ada yang sama," ucap Jaya, lalu pindah ke tempat lain. Meninggalkan Jenaka yang masih kesal pada dirinya sendiri. Kenapa hanya kertas Jenaka tidak bisa melakukannya? Bagaimana nanti kalau menjahit kain? 

Jenaka mengambil selembar kertas lagi. Meletakkannya di bawah sepatu, menurunkan tuas sepatu, dan memposisikan kaki kanannya ke pedal dinamo. Telapak tangan Jenaka bergerak mengikuti arah kertas sambil sesekali membetulkan letaknya. Tiba di ujung, Jenaka berhenti, menaikkan tuas, dan mengambil kertas. Bibir perempuan itu mengembang sempurna begitu melihat hasilnya. 

"Pak Jaya!" 

Semua orang menegakkan kepalanya setelah mendengar suara Jenaka memanggil Jaya. Suasana mendadak hening, padahal tadi dipenuhi dengan suara mesin jahit. Jenaka jadi kikuk sendiri. Salahnya di mana memanggil Jaya? Kan, dirinya hanya ingin Jaya melihat kertas ini.

Jenaka menelan ludah saat Jaya perlahan mendekatinya lagi. Gadis itu mengalihkan matanya ke jarum mesin jahit.

"Kenapa manggil saya?"

Tanpa menatap Jaya, tangan Jenaka bergerak menggeser kertas yang sudah disetik. "Gimana?" 

Jaya mengambil kertas itu. "Udah cukup rapi. Kamu coba sekali lagi, ya. Besok kamu udah boleh belajar pakai kain."

Mata Jenaka berbinar setelah mendengar ucapan Jaya. "Beneran?" 

"Iya. Kamu pasti udah bosen, kan, megang kertas mulu." 

"Kenapa nggak dari kemarin?" 

"Dari kemarin setikan kamu nggak pernah rapi. Selalu keluar dari garis, bahkan kertasnya sampai sobek. Kalau langsung pakai kain, yang ada kamu ngerusak kain terus."

Benar, sih, tetapi dengar dari mulut Jaya kenapa tetap saja kesal? 

"Iya-iya! Saya bakal belajar lebih giat lagi."

"Nah, gitu, dong."

Sebelum pergi, entah sadar atau tidak, Jaya mengelus kepala Jenaka. Sontak si empunya terperanjat. Suhu tubuhnya meningkat. Jantungnya melompat-lompat. Jaya baru saja melakukan kebiasaannya tujuh tahun silam. Jaya kembali merusak dinding masa lalu yang sudah dibangun kuat-kuat.

Sampai detik ini Jenaka masih tidak paham kenapa Tuhan kembali mempertemukannya dengan Jaya. Padahal sejak laki-laki itu memutuskan pergi, Jenaka berusaha keras mengubur semua kenangannya sampai dasar. Jenaka benar-benar tidak mau terlibat apa pun dengan Jaya. 

Jelujur Cinta JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang