Hari ini Jenaka dan Jaya menghadiri undangan sidang pertama isbat nikahnya. Namun, sepanjang jalan, juga saat tiba di kantor pengadilan agama, Jenaka sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Kepalanya terus memikirkan kejadian tadi pagi. Benar-benar memalukan.
"Tolong yang tadi lupain aja. Anggap aja tadi nggak ada kejadian itu atau anggap aja Jenaka itu nggak ada." Jenaka memberikan ultimatum. Namun, mulutnya justru dijepit menggunakan jari oleh Jaya. Tentu saja Jenaka berontak. Jaya sudah lancang.
"Saya tahu kamu benci sama saya, tapi bisa kalau ngomong jangan sembarangan? Kalau malaikat denger gimana? Emang kamu udah siap mati sekarang?"
"Ya, nggak mati juga, Pak! Intinya lupain kejadian tadi."
"Iya, Jenaka. Saya bakalan lupain kejadian itu, kalau bisa."
Jenaka melirik tajam, tetapi hanya sebentar. Kakinya bergerak memasuki ruang sidang. Dalam sidang pertama hakim memeriksa berkas-berkas permohonan juga menanyakan kepada Jaya dan Jenaka terkait permohonan tersebut. Jadi, di sana tidak memakan waktu lama. Mereka kembali lagi pada minggu depan.
"Itu tadi katanya di sidang kedua kita harus menghadirkan saksi-saksi. Kita harus menghadirkan siapa?" tanya Jenaka saat melangkah meninggalkan ruang sidang.
"Ya, yang ada di pernikahan kita waktu itu. Kayak Pak Sobri, Pak Fuad, Pak Diman, istrinya Pak Fuad, sama Bapak kamu. Masa orang lain."
Jenaka mengembuskan napas. "Duh, kenapa harus ada mereka, sih? Nggak bisa orang lain gitu, ya?"
"Ya, nggak bisa, Jena. Yang nanti datang ke sini ya, yang tahu pernikahan kita. Kalau orang lain, hakim nggak akan percaya."
Setelah itu Jenaka berhenti bicara. Jujur saja dirinya masih enggan bertemu dengan orang-orang yang disebutkan itu. Karena merekalah dirinya dan Jaya terjebak di situasi yang aneh ini. Sampai sekarang saja Jenaka malas bertemu dengan dua bapak itu. Demi kewarasannya, Jenaka tidak masalah jika dirinya dicap anak yang kurang ajar.
"Kalau nanti Pak Diman sama Pak Sobri ngomong yang nggak-nggak kayak kemarin itu, terus Pak Hakim-nya percaya, bukannya malah bikin susah, ya? Kalau permohonan ini ditolak gimana?" Jenaka mengeluarkan suara setelah beberapa saat tenggelam dalam pikiran. Sebenarnya Jenaka sendiri tidak masalah jika usaha Jaya yang ini gagal. Toh, nanti kalau berpisah, tinggal pergi. Tidak perlu mengurus surat ini-itu.
"Saya nanti bicara sama mereka untuk nggak bilang kayak gitu saat datang ke persidangan nanti. Kamu tenang aja."
Jenaka sangsi. Memangnya bisa Jaya membuat mereka percaya?
"Emang bisa?" Jenaka mengeluarkan isi kepalanya.
"Ya dicoba dulu. Semoga aja bisa. Lagian, kita udah nurutin kemauan mereka, sekarang giliran mereka yang harus nurut sama kita."
Mendengar itu, dalam hati Jenaka sepakat. Semoga saja usaha Jaya berhasil. Pak Sobri dan Pak Diman mau mendengarkannya.
"Sekarang ke toko kain batik, ya. Beli kain batiknya," kata Jaya, lalu menyerahkan helm kepada Jenaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jelujur Cinta Jenaka
RomanceJenaka ingin menjadi perancang busana seperti Didiet Maulana meskipun hanya lulusan SMA. Namun, ia harus menelan pil pahit saat mengetahui bahwa instruktur di kelas menjahitnya adalah Jaya, mantan pacarnya tujuh tahun yang lalu. Karena sebuah inside...