Kesebelas • Masih Sayang

306 44 1
                                    

Tujuh tahun yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tujuh tahun yang lalu. Saat itu, Jenaka sedang menemani Jaya mencari tampah bambu di pasar. Ketika keluar, Jaya mengajaknya melihat-lihat berbagai macam jajanan, dan laki-laki itu baru berhenti di depan gerobak rujak buah.

"Jen, mau nggak beli rujak?" tanya laki-laki itu.

"Mau, Kak."

"Oke, tolong pegangin sebentar, ya. Kakak yang beliin."

Jenaka mengangguk. Ia duduk di anak tangga sembari memegang tiga buah tampah bambu dengan diameter berbeda. Tampak dari kejauhan Jaya memilih buah, lalu mengecek ponsel saat penjual membuat bumbunya.

Jenaka kira Jaya akan membawanya makan bakso, mi ayam, atau sate ayam. Laki-laki itu justru memilih tempat ini. Lagi pula, bukannya itu sudah biasa? Jenaka justru merasa biasa saja kalau diajak makan bakso.

Selang beberapa menit, Jaya datang membawa kantung plastik putih berisi dua bungkus rujak buah.

"Makasih, Kak," ucap Jenaka usai menerima makanan itu.

Jaya ikut duduk di samping Jenaka, kemudian membuka tutup mika rujaknya. Jenaka melakukan hal yang sama. Isinya ada irisan buah jambu air, pepaya, bengkuang, mangga muda, dan timun. Sambalnya terpisah. Jenaka menggigit ujung plastik sambal, lalu menuangkan cairan berwarna cokelat kemerahan itu di atas buah. Jenaka mengambil potongan buah mangga muda menggunakan tusuk gigi. 

"Kamu suka pedes nggak? Tadi aku bilangnya samain kayak punya aku."

Jenaka yang sedang mengunyah itu menoleh. "Suka, kok. Sebenarnya kalau cuma kayak gini, aku bisa buat. Kakak nggak perlu ke sini."

Setelah itu, mata Jaya melebar dan berhenti mengunyah. Kepalanya miring ke kiri, menatap Jenaka. "Kamu bisa?"

"Bisa. Tinggal beli buahnya, cabai, sama gula jawa buat sambal."

"Kalau gitu, ayo kita beli bahan-bahannya. Kita bikin di rumah."

Jenaka terhenyak. Lah, kalau mau buat sendiri, kenapa harus beli? "Harus banget sekarang, Kak?"

"Iya. Kakak suka banget sama rujak. Kalau di rumah ada Bunda yang suka buatin. Sejak kuliah terus sekarang KKN, kakak belum pernah ketemu rujak yang seenak buatan Bunda."

"Kalau kayak gitu kayaknya susah, Kak. Karena nggak mungkin tangan bundanya Kakak sama dengan punya orang lain. Terus kita juga baru beli rujak. Kalau kebanyakan, takutnya sakit perut. Gimana kalau besok aja?"

"Boleh, boleh. Nanti Kakak yang beliin buahnya."

Benar keesokan harinya Jaya membeli semua bahan rujak, sedangkan Jenaka yang membawa cobek dari rumah. Rencananya rujak itu akan dibuat di pos KKN. Jenaka yang membuat bumbunya, sementara Jaya mengupas, mencuci, dan memotong buahnya.

"Enak, Jen!" seru Jaya saat potongan buat jambu air dan sambal rujak masuk ke mulutnya. "Pedes sama manisnya pas. Kakak suka."

Jenaka menahan senyum. Wajahnya memanas mendengar pujian itu. Ini pertama kalinya ada seorang laki-laki yang memuji masakannya. Di rumah, Harun tidak pernah melakukan itu. Habis dibuatkan masakan ya sudah, tidak ada komentar apa-apa. Bapaknya itu baru bersuara kalau masakannya keasinan atau tidak ada rasa.

Jelujur Cinta JenakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang