Memaksa Hati

6 5 0
                                    

Pagi ini kembali ke rutinitas biasanya aku harus ke kampus untuk menimba ilmu, harusnya aku menimba di sumur sekalian mandi sih. Haha, apasih, ngaco!

Aku menyusuri gedung fakultas hukum, mencari Amora yang katanya sedang ada di sini.

"Hoy!" Aku terkejut ketika Amora datang tiba-tiba seraya menepuk pundakku.

"Ah, ngagetin!" protesku sebal, membuatnya terbahak-bahak di tempat.

Amora merangkulku dan kami melangkah menuju kantin fakultas, kebetulan dirinya sedang ada urusan di gedung ini dan dia mengajakku untuk sarapan bersama.

Kami melangkah bersama menyusuri lorong gedung yang panjang. Rasanya sangat lelah sekali setiap mengelilingi gedung dengan berjalan kaki. Rasanya kakiku ingin patah.

"Habisnya dari tadi gue liatin lo kayak orang hilang, sih," ucapnya membuatku memutar bola mata.

"Ya gua nyariin lo, bangke!" ucapku saya mau ikut perutnya, membuat ia menyekek dengan lengannya yang bertengger di pundakku.

"Gua dari tadi duduk di sana, lo gak liat?" tanyanya yang tak kuhiraukan, aku memukul lengannya agar melonggarkan cekekannya. Ck, dia memang menyebalkan.

Kulihat dia tertawa, memang beginilah orangnya sedikit aneh. Tapi aku menyayanginya. Tiba-tiba saja taunya berhenti mendadak, dan langkahku pun terhenti mengikuti langkah Amora.

Seketika aku membeku di tempat, melihat pemandangan yang lagi-lagi menyakitkan. Tapi aku bisa apa? Dia bukan milikku lagi. Kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Ah, sudahlah.

Aku membuang muka dan menarik tubuh Amora, tapi ia tak bergeming sekalipun. Fokus menatap lurus dengan pandangan yang tidak bisa kujelaskan. Marah, kecewa, sedih, kesal, semuanya tercetak jelas di wajahnya.

"Gak bisa dibiarin!" ujarnya, aku segera menahan Amora yang terlihat akan meledak.

Tidak bisa, Amora tidak boleh gegabah seperti ini. Amora tidak boleh mengamuk kepada mereka, karena aku udah Raga sudah tidak lagi bersama.

"Mora, udah Mor. Gua gak mau berurusan lagi sama mereka, biarin aja," mohonku, karena Amora bersikeras untuk menghampiri mereka. Aku memeluknya untuk menahan langkah sahabatku itu.

Iya aku tahu dia menyayangiku, dia ingin membelaku dan tidak ingin aku sakit hati terus menerus. Tapi aku juga tahu bukan ini jalan yang harus kami ambil. Aku harus ikhlas, lebih tepatnya harus terbiasa ketika melihat mereka. Karena aku sadar mereka juga memiliki hak dan dunianya sendiri.

"Gila ya, lo! Jangan sok kuat lagi Kalo tiap hari ngeliat mereka begini lo gak akan sanggup, Mit!" Aku melihat wajah Amora yang sudah merah padam, ini bukan karena salting tetapi karena dirinya tengah menahan emosi.

"Harusnya lo yang di sana, Mit!" ucapnya lagi. Aku memejamkan mata, kata-kata Mita barusan benar-benar membuatku berpikir demikian. Memang harusnya aku yang di sana. Tapi aku tidak boleh begini terus, tidak boleh menaruh harap pada diri sendiri.

"Iya, Mor. Tapi sekarang gua sama Raga udah gak sama-sama lagi." Aku menjelaskan kepada Amora, untuk meredam amarahnya.

"Tapi—" Aku langsung menarik Amora menuju kantin yang tidak jauh dari tempat kami berpijak, aku harus mengalihkan perhatiannya.

"Mau gimana-gimana juga gua udah gak punya hak lagi, gua gak boleh egois Mora. Udah cukup semuanya harus bahagia dengan pilihan masing-masing," ujarku untuk menenangkannya. Aku merangkulnya dan perlahan ia mulai menyeimbangi langkahku.

"Udah ya tenang," bujukku, "daripada ngurusin orang mending kita makan, gue udah laper nih!"

Kulihat dirinya mengangguk, setibanya di kantin aku menuju stand penjual makanan sedangkan Amora mencari tempat duduk untuk kami.

To be continued...

HAI HAI HALO!!!

APA KABAR SEMUANYA?

MOHON MAAF KARENA LIBUR CUKUP LAMA, BEBERAPA HARI BELAKANGAN AKU LAGI BANYAK TUGAS DAN SEKARANG AKU UDAH BENAR-BENAR LIBUR.

JANGAN LUPA UNTUK TINGGALKAN JEJAK YA!

SAMPAI BERTEMU DI CHAPTER SELANJUTNYA!!!

Tentang Cinta Dan RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang