Bosan, sudah tiga hari aku terbaring di tempat tidur. Jiwa lemah lembut Giselle jarang digunakan untuk bergerak. Sejauh ini ingatan Giselle asli hanya tentang duduk, diam, membaca buku, atau merangkai bunga.
Giselle versi aku lain. Aku lebih senang berada di luar ruangan daripada duduk diam. Membosankan sekali hidupnya. Sudahlah tak bahagia hidup dengan Dariel, ditambah lagi tak tahu harus berbuat apa selain menunggu kedatangan sang suami.
"Tidak, sepertinya aku harus berjalan-jalan sebelum tulang-tulangku berjamur." Aku merentangkan badan lalu memanggil Leila.
Dalam hitungan detik, gadis itu sudah berdiri di hadapanku. Saat mendengar aku ingin berjalan-jalan keluar, wajahnya langsung berkerut. Kurasa Leila tak setuju.
"Dengar, Leila. Sudah tiga hari aku berada di ruangan ini. Aku ingin keluar sebentar. Paling tidak, mengunjungi Duchess Edmont," ujarku.
"Nona baru sembuh. Bagaimana bisa saya mengizinkan Nona berjalan keluar?" tolak Leila tenang.
"Lama-lama aku bisa mati karena bosan."
Wajah Leila tampak merasa bersalah. Namun aku tahu dia akan bersikeras melarangku keluar. Padahal tubuhku sudah baik-baik saja. Tak seperti pemilik tubuh sebelumnya yang amat lemah. Giselle asli menang payah.
"Maaf, Nona. Saya rasa Anda harus beristirahat selama beberapa hari lagi, baru bisa bertemu Nyonya Duchess. Jangan membantah, karena ini demi Nona!" kata Leila tegas.
"Sepertinya aku tidak bisa menuruti kata-katamu," balasku.
"Nona ... "
"Kau terdengar bagai majikan yang memerintah bawahannya!" Aku menatap Leila tajam.
"Maafkan saya, Nona. Bukan begitu maksud saya. Saya hanya ingin Nona pulih."
"Aku yang memiliki tubuh ini. Jadi aku yang tahu, apakah aku sudah sehat atau belum."
"Biarkan saja dia!"
Suara lain menyela obrolan kami. Ternyata Dariel Edmont. Dia berjalan masuk dengan angkuh. Aura jahat mengikutinya. Tampan, sangat tampan. Namun sayang, sifatnya yang kejam tak membuatku tertarik sedikitpun.
"Tuan Dariel!" sapa Leila sembari membungkuk dengan elegan.
"Bantu Giselle bersiap. Ibu ingin bertemu dengannya!" titah Dariel pada Leila.
"Baik, Tuan."
Sepeninggal Leila, aku berusaha turun dari tempat tidur. Berduaan dengan monster ini membuatku tidak nyaman. Entah apa yang dilihat Giselle asli dari orang ini. Tak ada sisi menariknya sama sekali.
"Kau tidak menyapaku?" tanya Dariel.
Gerakanku terhenti. "Selamat datang," ujarku malas.
"Hanya itu?"
"Kau berharap aku menggelar karpet merah, menabur mawar, dan mengalungkan bunga di lehermu?" tanyaku sarkas.
"Sepertinya mati suri membuatmu terlahir menjadi orang berbeda."
Benar, Giselle baru telah lahir. Oleh karena itu, Dariel sialan itu tak akan mampu membuatku hidup sebagai orang bodoh lagi. Aku akan mencari cara untuk keluar dari rumah ini.
"Kau bahkan mendiamkanku," komentarnya lagi.
Aku berpegangan pada tepian kasur dan menatapnya tajam. Mulutnya ribut sekali--seperti burung perkutut.
"Tuan Dariel, bukankah kau juga harus bersiap untuk menemui Duchess? Kenapa kau masih di sini dan mengoceh seperti burung?"
Wajah Dariel tampak kaget, tak menyangka aku akan meresponsnya sedemikian rupa. Memang agak kasar, mengingat Giselle lahir di keluarga bangsawan yang mengutamakan sopan santun santun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And The Bad Husband [On Going]
FantasySetelah mati tenggelam, aku terbangun di tubuh seorang wanita lemah lembut bernama Giselle Albern. Wanita yang hidupnya dihabiskan dalam kebodohan karena menuruti apa kata suaminya yang kejam, Dariel Edmont, putra pertama Count Jarrod Edmont. Apakah...