Aku terbangun dengan tubuh pegal. Menghadapi Brandon sialan itu sangat melelahkan. Untung saja Dariel berani mengambil keputusan besar. Satu Minggu lagi, pria itu akan dieksekusi di penjara istana.
Salahnya berani mencari masalah denganku--mengganggu gadis-gadis di sini artinya mengganggu diriku juga. Terlebih lagi dia tidak mengerjakan apa-apa selain mempertebal lemak perutnya. Lemak gajah saja kalah tebal.
"Nona!" Leila masuk dengan langkah cepat. "Cepatlah bersiap! Tuan Dariel memanggil Anda."
"Mau apa dia?" tanyaku tak suka.
"Lebih baik, Nona bersiap sekarang. Itu akan menghemat waktu."
Wah, bahasa Leila semakin tidak sopan. Melihatnya sangat garang, aku segera melompat dari tempat tidur dan berlari ke luar kamar.
Leila berteriak nyaring, memanggil namaku. Ia meminta diriku mandi dan menghias diri. Ah, hanya menemui Dariel, tak perlu sampai berdandan cantik, kan?
Begitu sampai di depan pondok penginapan Dariel, aku berhenti. Napasku terengah-engah. Sebenarnya, memang ada satu hal yang ingin kusampaikan.
Melihat dia menindaklanjuti kasus Brandon dengan sangat serius, artinya keberadaanku dipertimbangkan olehnya. Paling tidak, aku harus berterima kasih sebagai basa-basi.
"Oh, Tuhan!" pekikku.
Orang yang sedang kupikirkan tiba-tiba keluar dengan wajah sembab. Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya Dariel tidak tidur semalaman.
"Kau berlari menemuiku ke mari?" tanya pria itu.
Aku mendengkus. "Tidak, aku sedang kabur dari Leila. Dia semakin cerewet."
"Yah, intinya kau berhenti di sini, dan itu artinya kau memang ingin menemui diriku."
"Ya, ya, ya." Aku memutar bola mata. "Terserah kau saja." Tanpa sungkan aku duduk di beranda. "Wajahmu kenapa? Kau rindu Joana, kah? Apa semenyakitkan itu berpisah dengan dia sampai menangis semalam?"
Kening Dariel berkerut. Ia ikut duduk di sebelahku dan menyematkan jubah ke tubuhku.
"Berlari keluar dengan baju tidur, tidak mencerminkan istri seorang Edmont," komentarnya. "Dan soal tuduhanmu, aku tidak memikirkan siapa pun. Brandon harus segera dihukum ... "
"Lantas kau sedih karena Brandon akan dihukum?"
"Makanya semalam aku mengerjakan laporan yang menguatkan bukti bahwa dia bersalah."
Pria itu terlihat cukup sabar. Dia masih punya hati. Padahal aku menyela omongannya.
"Ngomong-ngomong soal Brandon, terima kasih sudah membantuku."
"Nixam wilayahku juga. Jadi aku membantu penduduk di sini, bukan kau."
Baiklah, kutarik kembali ucapanku. Dariel tidak punya hati.
"Jika mengakui Nixam wilayahmu, seharusnya kalian tidak segan-segan membantu mereka. Ini malah menyuruhku ke istana sendiri. Kurang ajar sekali," komentarku tanpa segan.
Tanpa memedulikan kata-kataku, pria itu meregangkan tubuhnya. "Bersiaplah. Kita akan pergi menemui putra mahkota!" kata Dariel.
"Hei, siapa yang mengajakmu?!"
Tanpa mendengar keluhanku, Dariel masuk ke dalam. Emosiku membara. Aku pergi bersama Pashenka. Bukan bersama pria tak punya hati itu!
Mau tidak mau, aku kembali ke pondok untuk bersiap-siap. Leila telah menunggu. Wajahnya tampak kelam. Ia kesal aku meninggalkan kamar tanpa membersihkan diri.
Namun alih-alih marah, ia malah menjelaskan alasan Dariel ikut seolah-olah tahu kekesalan yang bercokol di dalam hatiku. Konon katanya, perjalanan menuju istana sangat berbahaya. Pashenka akan kewalahan jika menemui bahaya sepanjang jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And The Bad Husband [On Going]
FantasySetelah mati tenggelam, aku terbangun di tubuh seorang wanita lemah lembut bernama Giselle Albern. Wanita yang hidupnya dihabiskan dalam kebodohan karena menuruti apa kata suaminya yang kejam, Dariel Edmont, putra pertama Count Jarrod Edmont. Apakah...