Setelah menyantap makan malam yang dibawakan Leila, aku memeriksa kaki. Bengkaknya sudah banyak berkurang. Aku memanggil Leila untuk menanyakan pendapatnya soal hadiah.
"Anda tak bisa membicarakan tentang Tuan Pashenka sekarang, Nona. Sebentar lagi, Nyonya akan tiba," sahut Leila.
Benar juga. Tadi, Duchess Edmont berkata akan datang setelah makan malam. Aku mengangguk saja sebagai jawaban.
Tak lama, Duchess Edmont benar-benar tiba. Ia membawa sepiring yoghurt. Aku termangu, seorang duchess datang tanpa pelayan pribadi, bahkan membawa piring sendiri.
Sejak aku bertemu mereka, sikap Duchess Edmont menjadi aneh. Disebut perhatian, tidak terlalu. Benci, juga tidak sekental dulu. Ada sesuatu yang Duchess Edmont inginkan dariku, pasti begitu.
"Makanlah ini. Rasanya cukup enak. Kupikir, Leila tidak membawakannya untukmu karena segan padaku," kata Duchess Edmont sembari menyodorkan piring.
"Terima kasih atas perhatian Anda, Duchess."
Aku menerimanya lalu makan dengan lahap. Enak, wanita ini tidak berbohong. Koki keluarga Edmont memang terbaik. Seingatku begitu.
Lagipula Leila tidak berani membawa makanan manis ke hadapanku. Giselle asli pernah muntah karena makan makanan yang mengandung banyak gula.
Sekarang, aku yang berkuasa atas tubuhnya. Bebas jika ingin makan apa. Mau itu makanan manis atau pahit sekalipun akan kutelan kalau suka.
"Ternyata benar, kau banyak berubah," komentar Duchess Edmont.
Aku menatapnya yang tengah berdiri. Senyumku terulas. Piring yang telah kosong, kuserahkan pada Leila. Baru menjawab kata-katanya.
"Ada banyak yang harus saya perjuangkan. Termasuk kebahagiaan. Kalau saya terus-menerus menjadi Giselle lama, saya khawatir akan mati muda," jawabku sarkas.
"Kekhawatiranmu terlalu jauh," balas Duchess Edmont.
"Sesuai dengan pengalaman. Saya hampir mati tenggelam, saat suami saya sedang bermesraan dengan perempuan lain." Aku tak mau kalah. "Entah siapa yang harus saya percaya di sini, tapi sebelum itu saya harus berdiri sendiri."
Berpura-pura patuh tak ada gunanya. Aku harus menunjukkan taring. Joana harus diwaspadai. Begitu pula dengan pasangan suami istri penguasa Apore ini. Dariel, dia memang masuk daftar hitam.
Kutatap mata Duchess Edmont--hal yang tak berani dilakukan oleh Giselle asli. Sulit sekali menebak isi pikirannya.
Dia datang membawa puding dengan tangannya sendiri. Sebelum ini, bersikap seolah peduli. Apa maunya?
"Kau tidak harus mempercayai siapapun, Giselle. Kepercayaan akan menghancurkanmu dari dalam," ujarnya.
"Itu terjadi kalau saya memberikan kepercayaan kepada orang yang salah," balasku.
"Baiklah, kau benar," ucap Duchess Edmont lalu menghela napas panjang. "Perubahanmu terlalu banyak. Aku sampai terkejut."
"Saya yakin ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan selain mengomentari perubahan saya, Duchess," kataku penuh penekanan.
Duchess Edmont menghela napas lagi. Ia melirik Leila, lalu mengulangi hal yang sama. Berat sekali untuk jujur, ya. Saking terbiasa bersandiwara sepertinya.
"Aku memberimu kesempatan untuk menambah pelayan dan beberapa pengawal. Kau juga berhak mengangkat ajudan pribadi untuk melindungimu. Yang Mulia telah menambahkan anggaran belanjamu."
Dahiku sontak berkerut. Tiba-tiba saja anggaran belanjaku ditambah. Dulu, jatahku sedikit sekali.
Mereka ingin mengontrol seluruh pergerakan sehingga pelayanku pun diurus oleh keluarga ini. Namun tak ada angin, tak ada hujan, tak ada badai petir, Duke Edmont melonggarkan langkahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And The Bad Husband [On Going]
FantasySetelah mati tenggelam, aku terbangun di tubuh seorang wanita lemah lembut bernama Giselle Albern. Wanita yang hidupnya dihabiskan dalam kebodohan karena menuruti apa kata suaminya yang kejam, Dariel Edmont, putra pertama Count Jarrod Edmont. Apakah...