22. Menguak Indentitas

1.2K 98 7
                                    

"Kau benar-benar ingin pergi ke sana?"

Pertanyaan Dariel menyiratkan rasa tidak suka. Wajahnya masam, tapi berhasil ditutupi oleh senyuman tipis.

"Suka tidak suka, aku rindu pada orang tuaku. Sama halnya dengan anak perempuan lain yang telah menikah. Mereka pasti akan berkunjung sesekali. Dengan atau tanpa ditemani suami," jawabku.

Pashenka tengah mengikatkan barang-barang kami di kuda sewaan. Tidak banyak, hanya pakaian dan sedikit uang.

Awalnya kami sempat kebingungan memikirkan cara sampai ke Adanac, sementara kuda milik Pashenka telah dibawa kembali ke mansion agar tidak menarik perhatian..

Tidak mungkin juga meminjam kuda Dariel atau Lionel. Rasa gengsi mengelabuiku sehingga memilih mencari sewaan. Beruntungnya, Fred--pria yang memiliki kedai minuman, tahu seseorang yang memiliki kuda bagus dan sehat.

Alhasil, dua kuda hitam yang gagah nan perkasa akan menemani perjalanan. Aku akan naik bersama Leila, sedangkan Pashenka di kuda satunya.

Satu hal lagi yang perlu aku syukuri. Giselle bisa naik kuda, dan aku pernah ikut komunitas berkuda secara diam-diam--meskipun tak kunjung bisa membeli kuda sendiri. Jadi saat bereinkarnasi, rasanya tidak kagok lagi.

Berhubung barang bawaan tidak banyak, persiapan kami tidak lama. Urusan Nixam telah kuserahkan pada Dariel sampai aku kembali ke mari. Toh, dia sudah menunjukkan ketertarikan membangun desa.

"Lionel!" panggilku.

"Ya, Nona?"

"Kurasa, surat balasan dari putra mahkota akan sampai hari ini. Tolong simpan baik-baik, sampai aku kembali," kataku serius

"Baik, Nona."

"Giselle, aku tahu tekadmu tidak bisa dibantah, tapi coba pikirkan lagi. Jarak Apore ke Adanac itu berhari-hari. Bukan tidak mungkin, kau mengalami kejadian buruk di perjalanan," bujuk Dariel.

"Kata-katamu terdengar seperti harapan," sindirku.

"Tidak, bukan begitu."

"Lalu apa? Doakan saja aku baik-baik di jalan. Menghalangi seorang anak yang khawatir pada orang tuanya, itu terdengar sangat kejam dan otoriter," kataku kesal.

Leila tampak berbincang dengan bibi pemilik penginapan. Mereka terlihat akrab. Lama-lama, dia terlihat mirip dengan Pashenka. Sifatnya ramah--mudah berbaur dengan siapa saja, tapi tetap elegan.

Kurasa, dia hendak berpamitan. Aku sudah melakukannya tadi pagi, saat bibi pemilik penginapan mengantarkan sarapan. Ia terlihat sedih, tapi berusaha tenang.

Lagipula aku hanya pergi untuk sementara. Setelah itu, langsung kembali ke Nixam. Urusan di sini belum selesai. Ada banyak yang harus dikerjakan.

"Sudah?" tanyaku saat Leila mendekat.

"Sudah, Nona. Kata bibi, kita bisa kembali kapan pun dan tak perlu membayar," ujar Leila.

"Nanti kita akan membayarnya dengan setimpal, Leila. Sekarang agak sulit. Identitas kita tidak boleh terbongkar terlalu cepat," kataku.

Kakiku melangkah menuju kuda. Saat hendak naik, seseorang menyentuh lengan. Lewat baunya, aku tahu itu Dariel.

"Biar kubantu," ucapnya pelan.

Dalam sekali lompat, aku berhasil naik. Dariel menatapku lama. Efeknya, degup jantung mulai menggila.

"Terima kasih." Aku berusaha duduk dengan nyaman.

"Kau tidak menawariku untuk ikut," sindir Dariel.

"Nanti Joana bisa meracuni diriku lagi kalau kau ikut ke mana-mana."

Me And The Bad Husband [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang