Haaaiii, Skylove. Wah, parah sih saya suka ngilang. Mon maap sebelumnya, saya emang gitu. Nulis pas mood doang, tapi moodnya datang jarang-jarang. Makasih ya udah nunggu. Lope deh.
-
Mataku membola mendengar perkataan Pashenka. Pria itu mengangguk, tanda ucapan barusan benar adanya. Sontak saja kutarik dia menjauh untuk membicarakan hal itu.
"Cepat, katakan!" paksaku.
"Saya baru berani mengatakannya sekarang, agar Nona mau meninggalkan Nixam."
"Maksudnya?"
"Sebenarnya sudah lama saya mendapatkan kabar ini. Orang tua Anda ... " Pashenka menatapku lekat-lekat. "pernah melewati gunung ini."
Lagi, mataku membola. Pertanyaan beruntun segera keluar tanpa bisa dicegah. Pashenka menggelengkan kepala tanda tak bisa memberi lebih dari itu. Kecewa, itu yang kurasakan.
"Kupikir kami sudah dekat," lirihku.
"Bersabarlah sebentar. Jika mereka pernah melewati gunung ini, pasti ada tanda yang dibuat."
Tanda, mereka bukan pendekar. Seorang Duke dan Duchess biasa yang suka menjelajah berdua. Ayah memang bisa bela diri, tapi jiwanya bukan jiwa pendekar.
Berbagai pemikiran yang menyerbu kepala membuat diriku pening. Tanpa menyentuh rusa panggang, aku masuk ke tenda dan berusaha tidur.
Saat ini tak ada gunanya stress memikirkan keadaan. Bukan otak yang bekerja, melainkan kaki harus terus bergerak mencari yang hilang serta menyembuhkan yang sekian lama rusak.
"Ayah, ibu, sebenarnya apa yang terjadi? Tiba-tiba saja kalian tak ada kabar dan tak pernah datang berkunjung meski dua kali aku hampir mati," gumamku.
Ingatan yang seharusnya ada, mendadak lenyap saat aku berusaha keras mengingat tentang mereka. Tidak, sebenarnya sejak terbangun di sini, tak ada informasi apa pun mengenai kedua orang tuaku.
Aneh sekali. Masa kecil pun mendadak abu-abu. Satu-satunya sisa ingatan sebelum menikah adalah wajah ayah dan ibu serta kebaikan mereka. Itu saja.
"Kau tidak makan?"
Saat menoleh ke pintu tenda, Dariel berdiri sembari memegang paha rusa panggang yang menggiurkan.
"Tidak."
"Tidak suka daging rusa?"
"Suka, Lionel memanggangnya dengan sangat baik, tapi aku tidak selera makan."
"Karena obrolan tadi?"
"Bukan." Aku menghela napas panjang. "Kau makan saja. Tak perlu menanyaiku."
"Tentu saja aku harus bertanya. Kau istriku, kalau sakit di perjalanan bagaimana?"
Perutku terasa geli. Sebutan 'istriku' membuat perasaanku melambung tinggi. Tubuh Giselle bereaksi, dan itu sangat berlebihan.
"Tidak akan."
Secuil daging terulur di depan wajahku. Dariel memberi kode, untuk membuka mulut. Dengan pasrah aku melakukannya. Lalu mengubah posisi dari rebahan menjadi duduk.
Kami makan tanpa banyak bicara. Aku sedang lelah berdebat atau mengundang perdebatan. Sementara Dariel, selama ini dia memang hanya melayaniku berdebat karena aku yang memulainya.
Setelah daging rusa habis, dia pergi keluar. Tak lama kembali membawa selimut.
"Hanya ada dua tenda. Pashenka dan Lionel akan berjaga. Sementara Leila tidur di tenda satunya lagi. Aku disuruh beristirahat, tapi tak mungkin satu tenda dengan Leila," terangnya panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And The Bad Husband [On Going]
FantasySetelah mati tenggelam, aku terbangun di tubuh seorang wanita lemah lembut bernama Giselle Albern. Wanita yang hidupnya dihabiskan dalam kebodohan karena menuruti apa kata suaminya yang kejam, Dariel Edmont, putra pertama Count Jarrod Edmont. Apakah...