Bertengkar

527 38 4
                                    

Sudah tidak ada lagi gairah untuk melanjutkan sebuah novel yang dia tulis, novel yang terdapat karakter Rakan di sana. Seline awalnya berusaha memaksakan diri, sayangnya dia tak sanggup lagi. Sepertinya dia akan hiatus dari pekerjaannya menulis novel. Bagaimana lagi, rasanya dia trauma saat karakter yang dia tulis malah menjadi kenyataan. Bukan apa-apa, berarti selama ini rasa sakit yang dia tuangkan dalam tulisan benar adanya.

Seline menutup wajahnya, dia merasa gusar. Tiba-tiba Seline memikirkan Rakan, tentang kehidupan Rakan dulu saat masih di dalam buku. Berarti selama ini Rakan menderita karena ulahnya, karena imajinasinya.

"Tapikan gue enggak tau kalau bakal nyata," ucap Seline.

Hari sudah menunjukkan pukul satu malam, dan Seline sama sekali tidak merasa mengantuk, mungkin ini efek dirinya baru saja meminum kopi. Seline merebahkan diri di ranjang, menerawang ke depan sana.

"Gimana caranya biar Rakan bisa balik ke tempat asalnya?" Seline menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa pusing dengan apa yang dia hadapi sekarang. Pasalnya semua yang terjadi sungguh tidak masuk akal.

"Gue rasa sebentar lagi gue bener-bener gila."

Seline meruntuki kebodohannya. Ini semua karena kegabutannya, Seline menulis novel sebenarnya hanya untuk menyalurkan segala hal yang tidak bisa dia miliki selama ini, salah satunya adalah kekasih.

Seline benar-benar bodoh masalah percintaan, tetapi otaknya ini malah mempunyai ide untuk menulis novel percintaan.

"Seline!" Seline berdesis kesal, dia menutup mata berusaha agar tetap sabar menghadapi pria aneh yang sekarang tinggal di rumahnya.

"Seline!"

"Iya-iya!" Seline ke luar kamar, matanya langsung menangkap Rakan yang sedang mengeringkan rambut.

"Kenapa?" tanya Seline tidak sabaran. Dia sangat kesal waktunya istirahat terganggu.

"Air keran mati," ucap Rakan.

Seline tersenyum paksa dan menuju kamar mandi di kamar Rakan. Rakan mengekori seperti anak kecil, memperhatikan apa yang Seline lakukan.

"Bentar gue panggil yang bisa benerin dulu, lo jangan ke mana-mana!" Rakan mengedikkan bahu tak peduli. Lagi pula mau ke mana lagi dia.

***

Sudah sejam lewat dan keran di kamar Rakan baru saja selesai diperbaiki. Seline mencari keberadaan Rakan yang tak terlihat sejak tadi, takut pemuda itu kembali membuat kekacauan.

Seline mengernyit saat suara berisik terdengar di kamarnya, perasaannya jadi tak enak. Dengan langkah cepat Seline menuju kamarnya, membuka pintu cukup kasar.

Seline menutup mulutnya terkejut, bahkan matanya melebar dengan wajah yang semakin memerah. Di depannya ada Rakan yang sedang membanting laptop miliknya tanpa perasaan.

"Rakan lo gila!" Seline merebut laptop miliknya yang sudah tak berbentuk, lalu menatap Rakan dengan perasaan murka.

"Lo! Argh kenapa lo ngerusakin laptop gue sialan?!" Rakan masih diam sambil mengatur napasnya. Wajah pemuda itu memerah dengan tangan mengepal erat.

"Lo masih ngelanjutin naskah sialan itu?" tanya Rakan dingin.

"Ya, kenapa?" Seline meletakkan laptopnya yang sudah pasti tidak dapat diperbaiki.

"Kenapa kalau gue lanjutin itu sialan!" teriak Seline marah. Mata gadis dengan piama itu memerah, mati-matian menahan air matanya agar tak turun.

"Gue enggak suka lo masih bikin ending Seno dan Lala sama-sama, dan gue lo buat mati?!" Seline mengacak rambutnya frustasi.

"Ya apa urusannya sama gue?!"

"Pikir sendiri pake otak yang enggak berguna itu!" Rakan pergi dari kamar Seline. Meninggalkan Seline yang sudah tak dapat menahan tangis.

Seline menatap nanar laptop kesayangannya. Bukan tentang laptopnya, Seline sakit hati karena semua tulisannya berada di dalam sana.

"Emang kenapa kalau gue buat dia mati, suka-suka guelah gue yang nulis," gerutu Seline.

Seline semakin terisak. Apakah file di dalam laptopnya masih bisa diselamatkan? Argh, memikirkannya membuat kepala Seline merasa ingin pecah.

Sungguh dia tak bisa lagi jika seperti ini. Rakan sudah banyak merugikannya, Seline tidak bisa terus diam dengan perlakuan antagonis sialan itu!

***

"Rakan," panggil Seline.

Rakan sama sekali tak menoleh. Pemuda itu hanya menatap layar televisi yang sedang menampilkan sebuah iklan.

"Lo terlalu kekanakan tau ga?" Rakan akhirnya menoleh menatap Seline tanpa ekspresi. Sebenarnya itu memang sudah kebiasaan pria itu.

"Secepatnya mending lo balik dari sini, gue muak lama-lama sama lo! Argh, emang enggak salah gue nyiptain lo sebagai antagonis. Lagi pula lo emang pantes dapet semua takdir menyedihkan yang gue tulis itu."

Entah perasaan Seline atau memang benar adanya. Seline merasakan sorot mata Rakan berbeda. Walau masih menunjukkan wajah datar, tapi Seline menemukan makna lain dari tatapan pria di hadapannya itu.

"Gue sekarang enggak peduli lagi, mau lo karakter atau ciptaan gue sekali pun. Gue enggak bisa nampung beban kayak lo lagi!" ucap Seline.

Setelah puas mengatakan kata-kata pedas itu Seline kembali memasuki kamarnya. Gadis itu kembali menangis, bukannya merasa lega dia merasa ada sesuatu yang menyakitkan di dalam hatinya.

"Kenapa sih ini semua terjadi sama gue?" Seline meraup wajahnya kasar.

Dia lelah, apa lagi sebentar lagi kedua orang tuanya pulang. Sungguh Seline tidak tau apa lagi kejadian yang membuatnya frustasi nantinya.

Sebenarnya Seline tidak benar-benar menginginkan Rakan pergi. Ia hanya ingin Rakan sadar diri dan paham jika tidak bisa bersikap egois apa lagi didunia yang asing ini untuknya. Seline berharap Rakan akan merenungi diri dan sadar akan kesalahan yang pemuda itu lakukan.

Walau sebenarnya salah, ucapan Seline berpengaruh besar untuk Rakan saat ini. Seorang antagonis yang sejak awal dipandang tidak memiliki perasaan.

Hai, aku kembali.

Jangan lupa vote dan komen ya guys!

I Love You, Tuan AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang