Hidup yang Menyenangkan?

561 47 0
                                    

Seline merasa kesepian. Tentu saja, sejak kecil dia selalu sendirian di rumah besar ini. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dan pergi ke luar kota mau pun negeri. Untuk para pelayan, Seline tak begitu dekat dengan mereka. Hubungan mereka hanya sebatas pekerja dan majikan.

Selama itu pula Seline hanya berdiam diri di dalam kamar selama ini. Tidak ada teman mengobrol, atau mencurahkan apa yang dia pikirkan. Seline terbiasa memendam semua sendirian, bahkan kemarahannya.

Adanya Rakan, seakan merubah segalanya. Seline merasa rumahnya hidup, walau Rakan sendiri jarang sekali berbicara. Setidaknya Seline dapat mengoceh menyalurkan semua kekesalannya kepada Rakan. Tidak seperti sebelumnya, Seline lebih banyak memendam kekesalan, bahkan menyalurkan pada dirinya sendiri.

"Rakan jangan buang kulit kuaci sembarangan," tegur Seline jengah.

Dia menghela napas lelah, berusaha tidak melempar bantal ke wajah Rakan. Bagiamana tidak dia lelah harus membersihkan rumah karena kekacauan yang Rakan buat setiap harinya. Bahkan sebenarnya Seline tak ingat, apakah karakter Rakan memang sejorok ini.

"Rakan awas minumannya tumpah!" Rakan memutar bola matanya malas mendengar ucapan Seline yang terdengar membosankan di telinganya.

"Berisik lo!" Seline berteriak karena bantal yang Rakan lempar tepat sasaran ke wajahnya. Wajah Seline memerah, dia menatap kesal ke arah Rakan.

"Monyet lo!" Rakan ikut tersentak saat tanpa aba-aba Seline melempar bantal lebih keras. Rakan sampai terhuyung karenanya.

"Sakit bego!" Rakan berteriak marah. Hal itu membuat tawa Seline seketika berhenti. Dia lupa sedang menghadapi siapa.

Seline menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil berusaha tak menatap Rakan yang seperti memiliki tanduk.

"Sialan!" Seline tersentak kaget mendengar makian Rakan. Dia menatap Rakan yang sudah bangkit dan masuk ke dalam kamar. Sepertinya pemuda itu benar-benar marah sekarang.

"Padahalkan dia yang salah," cicit Seline.

Dia menatap sebal pada semua barang yang tergelatak bukan ditempatnya. Dengan adanya Rakan membuat pekerjaan Seline bertanya berkali-kali lipat. Namun, entah mengapa Seline merasa suasana di rumah ini hidup.

***

Selama makan malam Rakan sama sekali tak bersuara, sama seperti malam-malam sebelumnya. Hanya saja kali ini pemuda itu tampak lebih tak bersahabat, membuat Seline ikut bungkam juga.

Dia mengaduk makanan tanpa minat. Seharusnya yang marah di sini itu dirinya, bukan Rakan. Seline melirik sekilas Rakan yang memasang wajah tanpa ekspresi.

Sebenarnya Seline merasa aneh, mengapa dia bisa menciptakan tokoh dengan wajah sempurna namun dengan perlakuan minus. Dia menyesal, mengapa sampai menciptakan Rakan dengan semenyebalkan ini.

"Rakan," panggil Seline pada akhirnya.

"Maaf ya?" Seline menyengir lebar saat Rakan melemparkan tatapan tajam ke arahnya.

"Lo sih ngeselin, harusnya lo itu bisa dong diajak kerja sama. Capek tau beresan rumah sendirian, lo itu kan num—" Seketika Seline bungkam saat suara keras dari dentingan sendok dan piring terdengar.

Dia menatap ke arah Rakan yang saat ini menatapnya lebih tajam dari pada sebelumnya. Seline meneguk ludah dengan susah payah, sepertinya dia salah bicara.

"Lo yang ciptain antagonis ini. Seharusnya lo jangan buat hidup gue lebih buruk dari sebelumnya." Rakan bangkit menendang kursi cukup keras hingga Seline memejamkan mata terkejut.

Seline menatap Rakan sedih. Bukankah dia keterlaluan menyalahkan Rakan? Ini jadi salahnya? Salah dirinya yang menjadi seorang penulis lalu menciptakan tokoh antagonis.

Seline menundukkan kepala dalam. Benar, ini salahnya. Sejak dulu kedua orang tuanya tak pernah setuju Seline menjadi seorang penulis. Namun, Seline hanya manusia. Dia ingin merasakan apa yang orang lain rasakan, sayangnya tidak semudah itu.

Sejak kecil pergerakannya terpantau, kisah cintanya yang tak pernah mulus. Bahkan Seline tak pernah benar-benar merasakan jatuh cinta.

Dia menjadi penulis karena ingin menuangkan segala imajinasinya tentang percintaan, tentang kehidupan yang dia impikan. Dia menciptakan karakter Lala seolah dirinya. Lalu menciptakan Seno sebagai wujud cinta yang dia impikan.

Sedangkan Rakan? Seline hanya iseng menambahkan karakter itu. Dia hanya ingin menambah bumbu-bumbu konflik dalam tulisannya. Dia tak tau tulisannya malah berdampak fatal pada kehidupannya. Rakan, sang antagonis menjadi nyata.

Seline menelungkupkan kepalanya di meja. Lalu meratapi nasibnya di sana. Seharusnya tuhan mengirimkan Seno, seseorang yang selama ini dia mimpikan dalam wujud cinta pertama. Bukan Rakan, seseorang yang selalu menjadi bayang-bayang dalam hubungan Lala dan Seno.

Isakan Seline terdengar. Dia menyesali takdir. Menyesali keberadaan Rakan, dan menyesali rasa kesepian yang malah membuatnya hidup seperti ini. Dia tak tau harus menghadapi kedua orang tuanya bagaimana saat tau ada pria asing berada di rumah mereka.

Seline berteriak tertahan, mengangkat kepalanya yang penuh air mata. Dia memutar tubuhnya, melihat ke kamar Rakan. Yang sialnya ada pemuda itu di sana.

Seline tak bergeming saat mata keduanya bertemu. Dia menghapus air matanya, lalu menyengir lebar ke arah Rakan yang masih menatapnya datar. Bukan terlihat bahagia, Seline malah terlihat persisi seperti orang bodoh.

TBC

Jangan lupa vote dan komen guys!

I Love You, Tuan AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang