04. (Menyerah)

6.1K 386 10
                                    

.
.
.
.
.
.

⚠️ warn! this chapter contains physical violence, please be more careful, selective and wise in choosing reading. this just fictional content, not to be imitated. ⚠️

──────────────────────────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

──────────────────────────



Elan terbangun disebuah ruangan gelap dengan keadaan tangan dan juga kaki yang terikat pada sebuah kursi, mata bulat itu menatap takut ke setiap sudut ruangan.

Si mungil mencoba melepaskan ikatan pada tangan dan kakinya namun sayang, bukannya ikatan terlepas hal itu malah menyebabkan pergelangan tangan dan juga kakinya terluka karena ikatan yang yang begitu kencang.

Nafasnya tak teratur disebabkan rasa takut yang berlebih, netra hazel yang biasa dihiasi binaran indah itu berkaca-kaca siap untuk meluncurkan tetesan beningnya kapanpun jika sang empu mengedipkan mata.

Elan takut, sekarang ia benar-benar sendiri, Bunda tidak lagi menginginkan dirinya.

Sebelum Elan dibawa kesini ia sangat bahagia ketika sang Bunda memeluknya dengan erat bahkan mengusap lembut punggung yang dihiasi banyak luka, tapi ternyata kenyataannya tidak seindah yang ia bayangkan. Pelukan itu hanya pelukan sesaat, mungkin sebagai pelukan perpisahan karena Bunda menyerahkannya kepada Paman berperut bulat.

Elan seperti dibawa terbang ke lagit ketujuh lalu dihempaskan ke dasar bumi setelahnya. Harapan yang ia inginkan sudah benar-benar pupus, sampai kapanpun Bunda tidak akan menyayangi dirinya.

"Ayah... takut, Elan takut dicini hiks- mau pilgi, mau pulang Ayah.."

"Paman Elan mau pulang, tolon lepas cakit tangan na Elan hiks.."

"ugh hiks- PAMAN!"

Brakk!

Arya membanting pintu, telinganya panas mendengar tangisan yang terus keluar dari belah bibir anak yang kini terikat di kursi kayu. "Berisik sialan! berhenti menangis atau mulutmu itu akan ku jahit!"

Dengan cepat Arya melangkah mendekat kearah si kecil, Elan menatap takut ketika Paman berperut bulat mendekat juga tersenyum kearahnya.

Elan tidak menyukai senyuman itu, senyuman itu terlihat sangat mengerikan. Dengan sekali tarikan surai hitam si kecil sudah berada di genggaman Arya.

Liquid bening menetes semakin deras dari kedua mata bulatnya, sakit. Kepala Elan sangat sakit karena rambutnya ditarik kuat oleh Arya, bahkan mungkin beberapa helaian rambutnya rontok.

"Cakit hiks.. Paman, cakit pala na Elan, tolon hiks- lepas"

"Berisik brengsek! jika kau terus menangis kupastikan kau tidak akan bisa berbicara lagi"

'Our Sun' : Elanza Nassa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang