Jarum dari jam bundar berukuran sedang yang tergantung di tembok kelas berdetak secara pelan dan pasti. Namun, bagiku bunyi detakan itu terdengar monoton, bagai jam rusak yang jarumnya hanya bergerak maju-mundur. Suara berisik siswa-siswi lain yang sedang asyik mengobrol menghidupkan suasana sekitar, tetapi bagiku suara mereka terdistorsi, seolah-olah udara yang menjadi medium rambatannya digantikan oleh air. Matahari bersinar terang di luar jendela siang ini, tetapi bagiku cahayanya terlalu menyilaukan, sampai-sampai netraku dibutakan oleh warna putih.
Lagi-lagi... suasana yang sama.
Suasana yang ideal, tapi terlalu ideal untukku. Itulah kenapa... aku benci suasana hidup seperti ini.
Pikiranku perlahan melayang, menjelajahi deretan memori episodik, menuju ingatan sebelum aku bersama kedua orangtuaku pindah ke SMA bernama 'Haruki' yang berada di kota bernama 'Yume' ini demi mengikuti tuntutan pekerjaan ayahku. Perkataan mereka masih bisa kuingat dengan jelas.
"Setelah pergantian tahun ajaran, kita akan tinggal di sini. Nama kotanya terdengar bagus, 'kan? Kota Mimpi. Bisa jadi ini pertanda baik. Mungkin di sana nanti kamu akhirnya bisa dapat teman dan kehidupan sekolah yang menyenangkan!!"
"Teman dan kehidupan sekolah yang menyenangkan apanya...," batinku dengan tatapan mata kosong serta tak bersemangat. "Baru hari pertama saja harapannya sudah nihil. Aku tidak bisa berubah dan tidak ada seorangpun di sini yang berinisiatif membantuku mengubah diri, sama seperti di sekolah-sekolah sebelumnya."
"Wajar saja. Aku payah dalam pelajaran dan dalam olahraga pun biasa-biasa saja. Kemampuan seni dan musik aku tidak punya. Ditambah lagi, kemampuan komunikasi dan sosialku nol besar. Selera fashionku juga sampah. Satu-satunya keahlian yang kumiliki adalah bermain game. Produk gagal, pemuda yang masa depannya suram, remaja yang tidak normal. Seandainya aku jadi orang lain, aku pasti bakalan menyerah sebelum mencoba kalau disuruh mengubah orang seperti diriku ini. Aku heran kenapa orangtuaku masih belum menyerah sampai sekarang. Mungkin karena keajaiban? Entahlah."
Kuhembuskan napas panjang. Tak ada hal menarik yang bisa didapatkan dari suasana begini, jadi aku membenamkan wajahku ke kedua lengan yang terlipat di atas meja sambil memejamkan mata, berniat menenggelamkan diri ke dalam dunia mimpi.
"Kalau begini..., apa bedanya jadi hikikomori dan datang ke sekolah? Kalau bukan karena ayah dan ibu bersikeras, sekarang ini aku sudah mengurung diri di kamar selama berbulan-bulan. Berdiam di balik kegelapan, satu-satunya hal yang bisa kuanggap sebagai teman sejati."
"Yah, kurasa di manapun dan kapanpun aku akan terus mengulangi kehidupan seperti ini. Bahkan setelah lulus sekolah nanti, setelah memasuki masa tua, dan sampai aku meninggal dunia."
"Berusaha pun percuma, hanya buang-buang tenaga. Tak akan ada yang berubah, selamanya."
Detik demi detik, menit demi menit berlalu. Suara-suara bising di sekitarku mulai memudar bersamaan dengan timbulnya perasaan nyaman. Sebentar lagi, dunia mimpi-tempat pelarian yang sangat cocok untuk pecundang sepertiku-akan menyambutku. Ah, seandainya saja aku bisa bermimpi selamanya..., tapi ayah dan ibu pasti akan sangat sedih kalau itu benar-benar terjadi.
Aku baru saja akan tertidur pulas ketika sebuah suara panggilan tiba-tiba menginterupsi.
"Hei!!"
Suara yang terdengar feminim. Seorang murid perempuan memanggilku? Ah, mana mungkin. Jangankan murid perempuan, di sini murid laki-laki pun memandangku dengan sinis seakan sedang melihat sampah berjalan. Pasti itu suara dari dalam mimpi.
"Hei!!"
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih nyata dan nyaring, menunjukkan secara jelas kalau dia bukan berasal dari mimpi biasa. Ini lucid dream atau aku sedang berhalusinasi?
"Heeii!!"
Berisik amat, sih. Aku tidak bisa tidur dalam damai kalau begini ceritanya. Setidaknya aku harus coba mengangkat kepala dan membuka mata supaya jelas apakah asal suara itu adalah dunia mimpi atau dunia nyata. Ah, merepotkan saja.
Akan tetapi, ketika aku benar-benar melakukannya... sesuatu yang agak mengagetkan menyambutku. Tampak seorang gadis berambut oranye sepunggung yang dibiarkan tergerai bebas sedang berdiri di depan meja. Dia mengenakan seragam sekolah yang sama denganku dan sedang melambai-lambaikan tangan kanannya tepat di depan wajahku.
"Oh, kukira kamu sudah mati," ucapnya seolah tanpa filter. Namun, aku tahu kalau dia cuma bercanda.
"Sembarangan, biar kelihatannya seperti sudah mati aku ini masih hidup," ujarku tanpa mengubah ekspresi.
"Cuma bercanda." Gadis tersebut melontarkan tawa kecil, memperlihatkan gigi-giginya yang seputih salju serta tampak terawat.
Di saat bersamaan, aku memperhatikan keseluruhan tubuhnya dan menyadari bahwa dia bertubuh langsing ideal dan berkulit terang. Tipe siswi idaman mayoritas orang. Benar-benar berbanding terbalik dengan diriku. Walaupun waktu kecil aku sering dibilang tampan dan kulitku terang karena berulang kali jadi hikikomori di masa lalu, dengan selera fashion sampah, tubuh kurus, rambut acak-acakan, dan mata panda begini mustahil penampilanku disebut menarik.
"Hello Again, Kuro. Kenapa kamu malah menyendiri di pojokan kelas begini waktu anak-anak lain bersenang-senang menikmati jam istirahat? Tidur seperti orang mati, pula. Kalau sakit, lebih baik pergi ke UKS."
"Tak perlu," jawabku. "Aku baik-baik saja."
"Lagipula, penampilan dan sikapku waktu sedang sakit dan sedang sehat tidak ada bedanya," kataku dalam hati.
"Ngomong-ngomong, apa kita pernah bertemu dan berkenalan sebelumnya? Kenapa kau menyapaku dengan 'Hello Again'?" Aku bertanya sambil mengangkat alis, menunjukkan keheranan.
"Ah, maaf. Aku tadi salah bicara," sahut si gadis. Dia terlihat salah tingkah sehingga aku tambah curiga. Sialnya, ia dengan cepat mengalihkan topik pembicaraan. Di luar dugaan, ia cukup pintar.
"Namamu Kuromaru Akeron, 'kan? Namaku Akari Sakurai. Kamu bisa memanggilku Akari. Salam kenal, ya."
"Ah, ya. Daripada membahas soal itu, apa kamu benar-benar baik-baik saja? Mukamu pucat, lho."
Aku menghela napas. "Sudah kubilang, 'kan? Aku baik-baik sa-"
Tanpa menungguku menyelesaikan perkataan, gadis bernama Akari itu segera menggenggam tanganku dan menariknya. Dia membawaku berlari menuju UKS, seolah tak peduli dengan kemungkinan di mana aku merasa tersinggung atau kami menjadi pusat perhatian kelas. Ah, kelihatannya yang kedua bukan sekedar kemungkinan lagi. Kami memang sudah jadi pusat perhatian kelas sekarang.
"Setidaknya harus diperiksa dulu. Ayo!!" tegasnya.
Jujur, aku ingin berontak, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang menahanku melakukannya. Alhasil, aku hanya berusaha menyesuaikan langkah kaki agar tidak terseret. Dari belakang, tampak rambut oranye terang milik si gadis berkibar-kibar bagai kobaran api akibat gerakan berlari yang dilakukannya. Pada saat itulah aku menyadari... bahwa gadis ini bercahaya. Bukan cahaya yang mengintimidasi dan menyilaukan seperti yang dipancarkan oleh orang-orang lain di kelas ini, tapi cahaya yang hangat dan menenangkan. Rasanya seperti sedang berdiri pada jarak yang aman dari perapian.
Ini pertama kalinya ada sesama manusia selain ayah dan ibu yang berupaya menjalin relasi denganku setelah sekian lama, jadi aku belum bisa benar-benar mempercayainya. Selain itu, aku tidak tahu berapa lama dia akan terus bercahaya seperti ini. Namun, ada satu hal yang bisa kupastikan.
Dia mungkin bisa membuktikan bahwa monolog-ku yang tadi itu salah.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Again, Kuro
RomanceKuromaru Akeron hanyalah seorang siswa SMA biasa yang selalu berpindah-pindah sekolah, menjauhkan diri dari keramaian, dan hidup seperti seorang zombie. Baginya, kehidupan hanyalah pola berulang yang membosankan. Namun, itu semua berubah kala dia pi...