Bab 17: Kilas Balik - Bagian Kedua

18 3 0
                                    

Waktu itu, semangat juangku bangkit kembali.

Penglihatanku berganti, menunjukkan anak yang mirip diriku tersebut untuk pertama kalinya setelah cukup lama berani berkata: "Hentikan perbuatan kalian" lagi kepada para perundung. Gadis kecil yang mirip Akari berdiri di sampingnya, menatap dengan nyali terpancar kuat dari mata beriris biru langit miliknya. Mereka berdua tampak seolah tak peduli dengan otot-otot di tubuh para perundung serta sorot mata bengis yang ditujukan langsung pada mereka.

Ya, karena Akari bersamaku, menyerah bukan lagi opsi utama bagiku. Walau akhirnya tetap harus babak belur lagi, lagi, lagi, lagi, dan lagi, semangatku—tidak, maksudku semangat kami—terus membara. Kelihatannya memang benar keberadaan rekan senasib bisa menambah semangat juang, sekalipun rekan tersebut juga tidak berdaya layaknya kita.

Namun, meski rasa takut, ragu, dan bingung di dalam diriku mulai pudar, jujur ketika itu aku masih menyembunyikan mereka semua di dalam hati. Apalagi setelah perlakuan para perundung semakin menjadi-jadi. Mereka bahkan tak segan main fisik kepada Akari. Kukira lambat laun Akari juga akan menyerah dan berhenti berjuang, tapi rupanya tekad gadis itu lebih kuat daripada dugaanku. Dia ternyata menyimpan rencana yang cerdik.

Penglihatanku berganti lagi, menunjukkan kepala sekolah—ayah dari si ketua kelompok perundung—tengah terduduk lesu dengan kepala tertunduk dalam-dalam di ruang sidang usai mendengar putusan Sang Hakim. Aku ingat. Waktu itu, tanpa sepengetahuanku, orangtua Akari menjalin koneksi dengan pengacara dan bekerjasama untuk mengungkap penggelapan dana dalam jumlah besar yang dilakukan kepala sekolah.

Lalu, di saat yang sama kasus perundungan kami terungkap. Kesaksian dari diriku, Akari, serta teman-teman lain yang juga menginginkan keadilan semakin menghalangi upaya bela diri sang kepala sekolah. Pada akhirnya, beliau dipecat dan dijatuhi hukuman penjara. Akibatnya, si ketua perundung beserta teman-teman geng-nya kehilangan backup dan ikut terkena getahnya. Mereka turut dijatuhi hukuman penjara, walau jangka waktunya terbilang singkat karena masih di bawah umur. Perundungan pun hilang di SD tempat kami bersekolah.

Penglihatanku kembali berganti, menunjukkan gadis kecil yang mirip Akari tersebut telah terlihat sebelas-dua belas dengan Akari yang sekarang. Rambut panjang berwarna oranye terang miliknya tak lagi dikepang menggunakan gaya culun, melainkan digerai dengan anggun hingga menyentuh bagian atas punggung. Dia maju ke depan kelas usai diumumkan sebagai peraih ranking tertinggi, disambut oleh tepukan tangan dari seisi kelas. Ya, pulangnya kedamaian ke sekolah tidak membuat Akari berleha-leha. Dia juga tak menunda-nunda untuk menghadapi tantangan berikutnya. Dalam waktu satu bulan saja, nilai akademis dan olahraganya naik drastis. Lalu, dalam waktu dua bulan dia berhasil memperbaiki penampilan dan kemampuan sosialnya.

Waktu itu, aku akhirnya paham mengapa saat kami pertama kali berkenalan Akari bisa begitu bercahaya meski dia juga tak berdaya sepertiku. Aku terlalu dikuasai oleh keraguan dan ketakutan. Bahkan saat sudah mengambil tantangan dan memperoleh pencapaian, kedua perasaan tersebut masih cukup kental. Namun, Akari berbeda. Gadis tersebut mengawali masa SD-nya pada garis start yang sama denganku, tapi dia berdiri lebih tegap, menghadap ke depan lebih lurus, memandang dengan lebih bersemangat, serta melangkahkan kaki dengan lebih mantap daripada diriku. Perbedaan di antara kami berdua sebatas cara memandang dan menghadapi dunia ini, tidak lebih dari itu.

Pada saat itulah, aku memutuskan untuk benar-benar percaya pada diriku sendiri. Aku yang tadinya hanya belajar saja, mulai berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan rasa yakin pada kemampuanku juga, hingga... pencapaian kedua pun berada dalam genggaman tanganku.

Untuk kesekian kali, penglihatanku berganti, menampilkan anak berpenampilan mirip diriku sedang berlari menghampiri gadis kecil berpenampilan mirip Akari dengan ekspresi wajah teramat bangga sambil membawa kertas ulangan. Langkah kakinya menggema keras, seakan berlomba dengan suara-suara obrolan ribut khas jam istirahat sekolah.

"Hei, Akari. Lihat ini!!" serunya penuh semangat sembari membuka lipatan pada kertas ulangan yang dia bawa, memamerkan angka '80' yang tertera di sudut kertas putih berbentuk persegi panjang penuh bilangan, tanda operasi, serta coret-coretan cara pengerjaan tersebut. "Jeng, jeng, jeng!! Nilaiku naik, lho!!"

"Wah, hebat!!" Sambil bangkit dari posisi duduk, membelalakkan sepasang mata biru langit miliknya, dan meraih kertas ulangan yang dipamerkan, gadis kecil itu berseru tak kalah heboh. "Sudah kubilang, 'kan? Kamu cuma perlu lebih percaya diri."

"Yah, kau benar," sahut anak itu sambil menggaruk tengkuknya serta melempar muka ke arah kiri. "Maaf karena sempat nggak memercayai perkataanmu. Meragukan diriku sendiri itu tindakan yang sangat bodoh."

"Selamat, Kuro-kun. Aku bangga padamu." Si gadis menepuk pundak si anak. Semangatnya tak tertahankan hingga cengkeramannya seolah ingin mematahkan tulang lengan atas serta tulang belikat milik si anak.

"Nggak perlu mencengkeram pundakku juga, hei. Sakit, tahu." Si anak merespons dengan bulir keringat mengaliri kening, membuat gadis di hadapannya buru-buru melepaskan cengkeraman.

"Ah, maaf." Si gadis menggaruk tengkuknya, tampak salah tingkah. "Baiklah, target berikutnya adalah nilai 100 di pelajaran matematika dan nilai 80 di pelajaran olahraga!!" Tinjunya kemudian melayang ke udara, disusul oleh tinju si anak.

"Ya, ayo berjuang!!"

Itu adalah pencapaian keduaku, saat di mana rasa takut serta ragu yang kusimpan mulai mendekati sirna. Setelahnya, pencapaian ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya secepat kilat menyusul. Versi menyedihkan dari diriku digantikan oleh versi terbaik, yaitu Kuromaru Akeron yang ekspresif, berani, suka tantangan, punya banyak teman, serta pandai di bidang akademis dan olahraga. Kehidupanku membaik. Ayah dan ibu pun turut senang sebab aku tak pernah lagi pulang sekolah dengan raut wajah murung atau dalam kondisi babak belur.

Layaknya ketika aku belum mengetahui kebenaran tentang Akari, saat itu hidupku adalah surga. Rasanya seperti sedang bermimpi. Bedanya, itu adalah kenyataan, bukan mimpi. Setiap hari—bahkan di kala musim hujan dan musim dingin melanda—terasa cerah, seru, serta menyenangkan. Luka fisik dan luka batin sirna dari tubuh dan jiwaku. Pemikiran naifku di hari pertama masuk SD benar-benar terwujud. Bagi diriku dan orang-orang di sekitar waktu itu, pasti kebahagiaan ini akan berlangsung lama. Tak ada satupun yang menyangka bahwa usia kebahagiaan ini akan sependek bunga-bunga sakura, bahwa penderitaan yang sebelumnya kami alami hanyalah bagian prolog dari sebuah novel bergenre tragedi. Atau mungkin novel bergenre komedi gelap bagi Dewa? Entahlah.

Kala musim panas menghampiri Kota Yume delapan tahun yang lalu, sekali lagi aku dihadapkan kepada pahitnya hidup, kepada tragedi yang lebih menyiksa dibandingkan sebelumnya. Tragedi yang membuatku kian terperosok ke dalam palung keputusasaan, semakin jauh dari bukit harapan. Tragedi di mana aku kehilangan orang yang membuatku berjuang.

To be continued

Hello Again, KuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang