Bab 21: Perasaan yang Bernama Cinta

9 1 0
                                    

Bel pertanda istirahat makan siang telah berdering lima menit lalu.

Aku mengedarkan pandangan ke luar jendela kelas, lalu ke sekeliling. Langit siang ini diwarnai cat biru muda dan diterangi matahari yang terik. Sekolah dan dunia juga berjalan dengan lancar seperti biasa, sebab Akari menghapus memori tentang kejadian semalam dari orang-orang yang bersangkutan. Murid-murid tampak sedang bermain, mengobrol, bahkan ada yang bercanda hampir kelewatan. Tidak ada perundungan sedikitpun, baik terhadap siswa / siswi lain maupun terhadap diriku. Mata-mata yang menatapku penuh nafsu membunuh juga berkurang berkat kerja Yamamoto. Bisa dibilang ini adalah tipe hari musim panas ideal.

Namun, aku tidak merasa senang.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa hari ideal sejenis ini terlalu menyilaukan. Ilusi ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Bila saatnya tiba, dia bisa saja tak mampu bertahan dan menghilang tanpa jejak.

Ya, aku membenci cahaya sekali lagi. Berada di tengah cahaya membuatku tak tahan, jadi aku segera beranjak keluar kelas. Akari melihatku, tapi aku mengurungkan niat untuk menghampirinya sebab pasti cuma akan menimbulkan perasaan canggung. Aku tidak sepandai dia dalam menyembunyikan beban pikiran. Jadi, aku menghiraukan gadis itu dan buru-buru menyusuri lorong, kemudian mengistirahatkan diri di sebuah kursi dekat persimpangan antarlorong yang minim pencahayaan, cukup jauh dari keramaian.

Sembari memejamkan mata dan bersandar pada tembok, aku merenungkan kembali tawaran Akari semalam.

–––––––

"Kuro-kun, aku tahu permintaan ini kedengaran egois, tapi maukah kamu..."

"... menemaniku menghadapi dunia setelah kematian?"

Kedua mataku melebar mendengar permintaan itu dan mulutku menganga seakan tak percaya. "Akari, apa maksudmu adalah...."

"Ya." Gadis itu menyahut tanpa menungguku menyelesaikan perkataan. "Tolong akhiri hidupmu, lalu jadilah roh sepertiku."

Dia membungkukkan kepala lebih dalam lagi hingga ujung rambut panjangnya menyentuh meja. Suaranya terdengar gemetar. "Maafkan aku. Sekali lagi, maaf. Aku memang terlalu egois, tapi aku nggak mau lanjut berjalan sendirian atau meninggalkanmu sendiri. Aku mau kita selalu bersama, selamanya. Apapun yang akan kutemui di sana, sekalipun kamu lupa kita pernah bertemu untuk kedua kalinya di alam kehidupan, kurasa aku akan merasa lebih baik asal ada kamu di sisiku."

Tubuhku serasa membeku, tidak bisa digerakkan. Begitu pula mataku yang tak bisa berhenti terpaku pada sosok gadis mentari yang kini tampak rapuh itu. Tawaran ini sungguh membuatku bimbang. Di satu sisi, aku tidak bisa meninggalkan ayah dan ibu serta development yang telah susah-payah kulakukan. Akan tetapi, di sisi lain, apa aku tetap akan bisa mempertahankan development ini tanpa Akari yang menemani? Bagaimana kalau aku malah kembali hidup sebagai hikikomori? Lebih dari itu, bagaimana kalau aku sampai benar-benar kehilangan alasan untuk hidup? Bagaimana kalau... usahaku untuk tidak lari justru malah memperpanjang penderitaan?

"Sepertinya aku terlalu cepat menagih jawabannya, ya." Usai mengangkat kepalanya sekali lagi dan merapikan rambut yang menutupi wajah, Akari tertawa kecil walau air mata masih menggenangi sudut matanya. "Nggak perlu buru-buru, Kuro-kun. Kamu bisa memikirkan itu matang-matang dulu. Aku akan terus menunggu sampai kamu mendapat jawabannya."

–––––––

"Pilihan mana yang sebaiknya kuambil? Tetap hidup tanpa Akari, atau pergi bersama Akari dengan mengorbankan masa depan dan kebahagiaan ayah dan ibu?"

Kugigit jari telunjuk, berharap kebimbangan ini segera berlalu. Namun, perasaan tersebut justru malah bertambah parah. Kubiarkan detik-detik berlalu, berharap Sang Waktu akan menunjukkan jawabannya, tapi hasilnya nihil.

Hello Again, KuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang