"Tentu saja," sahutku dengan mantap. "Membawa pulang Akari kepada kenyataan, 'kan?"
"Benar sekali. Khehehe." Kekehan lagi-lagi dilontarkan oleh Veritas. "Sekarang, lakukanlah tugas itu."
"Jangan khawatir. Aku tidak akan lepas tangan dan meninggalkanmu begitu saja."
Aku menganggukkan kepala, kemudian suara Veritas tak terdengar lagi. Aku pun menapaki jalan yang dipenuhi warna putih ini, menuju pohon raksasa. Sang Waktu terus berjalan, selaras dengan sosok pohon tersebut yang kian membesar. Lalu aku tiba di bagian bawah batang pohon, dekat akar-akar besarnya yang menancap kuat. Netraku menangkap sebuah lubang tak jauh dari akarnya. Tentu saja kugerakkan tubuh demi memanjat akar dan mendekati lubang tersebut.
Bagian dalamnya nampak putih tanpa noda, sekilas terlihat seperti gerbang menuju surga. Bagiku yang baru saja mengalami kejadian tadi, warna putih itu justru pertanda buruk. Namun, seperti yang telah kukatakan, aku tak bisa mundur sekarang.
Aku memasuki lubang itu—yang segera menutup tepat setelahnya, menjebakku di dalam sana—. Perlahan tapi pasti, pemandangan serta suasana di sekitar yang serba putih, dingin, dan sunyi memudar. Tawa ceria yang familiar merasuki telingaku. Sensasi hangat dengan lembut merambati kulitku. Seketika penglihatan akan memori-memori indahku bersama Akari semasa hidupnya mengisi pandangan. Adegan di mana kami memulai segalanya bersama, berjuang bersama, saling menyemangati bersama, dan bersenang-senang bersama. Adegan yang nampak seperti gambaran dunia mimpi versi kenyataan.
Akan tetapi, baru beberapa menit adegan tersebut berlangsung, retakan-retakan besar mendadak muncul dan menjalar hingga akhirnya pemandangan bahagia itu pecah bagai kanvas kaca lima dimensi yang jatuh dari ketinggian. Kesunyian kembali menguasai suasana. Lubang dimensi yang memancarkan cahaya hitam kemudian muncul di tengah-tengah puing-puing sisa pemandangan. Aku mulai paham maksudnya. Layaknya ketika dia menunjukkan apa yang sedang aku rasakan, Akari sedang menunjukkan apa yang tengah dirasakannya.
Tanpa gentar, aku tetap memasuki lubang dimensi dan melangkah maju bagai sebutir peluru. Sudah kubilang, aku akan melaksanakan tugas yang dipercayakan Veritas dan membawa Akari pulang.
Namun, hawa dingin menusuk lagi-lagi merambati kulitku kala aku melihat pemandangan-pemandangan yang selanjutnya Akari tunjukkan. Empat pemandangan pertama adalah orangtuaku, orangtua Akari, diriku, dan teman-teman beserta para guru di SD kami yang sangat terpukul atas kepergiannya, membuat dadaku didera rasa sakit dan hampa. Namun, itu bukan yang terburuk. Pemandangan kelima dan seterusnya menyajikan gambaran kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. Mulai dari neraka, reinkarnasi yang tidak menyenangkan, kehampaan abadi, hingga badai abadi. Yang lebih menyakitkan, dalam semua gambaran itu Akari melangkah maju sendirian.
Tenggorokanku tercekat. Sensasi layaknya ditusuk benda tajam di dadaku terus bertambah parah seiring berjalannya waktu. Langkahku sempat beberapa kali tersendat, tapi aku terus memaksakan diri untuk berjalan, sampai akhirnya tubuhku benar-benar tersungkur jatuh.
"Jadi... inilah penderitaan yang dia hadapi?" Aku membatin. "Jauh lebih kelam daripada yang kuhadapi. Pasti menyakitkan, apalagi selama ini dia selalu menyembunyikannya di balik senyuman cerah. Aku nggak bisa membayangkan ini terjadi padaku."
"Apa memang lari dari kenyataan adalah pilihan terbaik?" Tekadku mulai goyah. Niat untuk menyerah dan membiarkan ending ideal versi Akari terwujud mulai terbersit di dalam benakku.
"Rasa sakit sebesar ini..., risiko sebesar ini... dia tidak akan sanggup menanggungnya sendirian."
"Maaf, Veritas, tapi akan lebih baik kalau dia meraih kebahagiaan dengan cara yang diinginkannya saja."
Tubuhku yang terasa tak kuasa menanggung beban lebih lama lagi ini akhirnya kubiarkan berbaring telentang. Napasku yang tadinya memburu kini melambat. Kuangkat tangan kanan, seolah hendak mengibarkan bendera putih. Mulutku terbuka hendak melontarkan kata 'aku menyerah'. Namun, mendadak perintah Veritas terngiang kembali di dalam benakku, dan pada saat bersamaan aku tersadar akan sesuatu.
Kata 'pulang' yang Veritas gunakan tidak hanya bermakna Akari seharusnya berada di alam setelah kematian. Itu juga bisa bermakna Akari bukan baru pertama kali bertemu kematian. Sebelum dilahirkan, seluruh manusia—termasuk diriku dan Akari—berada pada kondisi tidak hidup secara biologis, persis seperti kematian. Itulah alasan mengapa kehidupan dan kematian adalah lingkaran penuh, dan mengapa pulang pada kematian hanyalah sebuah proses kembali pada sesuatu yang dulunya sangat dekat dengan kita.
Mungkin sukar diterima karena ketidaktahuan dan segala risiko yang ditakuti, tetapi pada kenyataannya kematian adalah teman akrab kita sendiri, yang harus kita terima dengan hangat ketika waktunya tiba...
... dan waktunya Akari pergi telah tiba sejak bertahun-tahun lalu.
Itulah kenapa aku harus membawanya pulang. Akari pasti bisa menjalani semuanya, karena dia tidak sendirian di dalam perjuangan itu.
Tawa masam terlontar dari mulutku, terdengar cukup keras. Dengan tenaga yang kini sudah kembali dan semangat yang kembali membara, aku bangkit berdiri.
"Aku sungguh bodoh," kataku sambil menghalangi muka dengan telapak tangan. "Kenapa aku bisa selambat itu menangkap lapisan makna keduanya?"
"Khekhekhe. Jadi sekarang kau sudah mampu menyadarinya tanpa perlu bantuan langsung dariku, ya?" Suara berat Veritas yang khas menyusup masuk ke dalam telingaku. "Kau tumbuh dengan cepat, bocah terpilih."
Senyum yang kuukir di wajah kian melebar, semakin menyiratkan kesenangan, kebanggaan, dan semangat. Pandanganku menatap lurus ke depan seraya kakiku melangkah dengan jauh lebih mantap dibandingkan sebelumnya. Kali ini kupastikan tekadku tidak akan goyah lagi.
Gambaran dari kemungkinan-kemungkinan mengerikan lain terus tersaji, menemani perjalananku menuju inti pohon raksasa ini. Tentu saja aku masih merasa takut, tetapi kali ini tak ada satupun langkahku yang tersendat. Takkan kubiarkan perasaan bodoh itu mendominasiku lagi.
Beberapa lama kemudian, akhirnya aku tiba di hadapan sebuah pintu berwarna keemasan, berbahan dasar batu, berukuran besar, serta tampak megah, serupa pintu dungeon di game-game RPG (Role-Playing Game) bergenre fantasi yang sering kumainkan. Terlihat jelas bahwa ini adalah ruangan utama. Akari pasti berada di dalamnya.
Dengan penuh kehati-hatian aku membuka pintu tersebut. Benturan antarbenda keras pun terdengar, lalu cahaya putih yang menyilaukan menyeruak, membutakan pandanganku untuk beberapa saat.
Cahaya menyilaukan tersebut lambat laun meredup dan lenyap, menampakkan ruangan serupa ruang takhta kerajaan lengkap dengan karpet mewah, singgasana yang terkesan empuk, dan ornamen-ornamen mengkilat. Langit biru cerah berhiaskan mentari yang bersinar keemasan serta awan-awan putih bagai kapas menjadi dinding, atap, sekaligus lantai dari ruangan tersebut. Akari yang sedang duduk di atas singgasana spontan bangkit berdiri begitu melihat kedatanganku, lalu menuruni tangga, menghampiriku. Mata kanannya masih memancarkan kilau keemasan. Emosinya sudah lebih stabil dibandingkan pasca penolakanku. Akan tetapi, raut wajahnya masih nampak gusar dan sedih.
Aku pun turut berjalan mendekatinya. Perlahan penglihatan pada mata kiriku ditutupi oleh cahaya biru terang. Sensasi menusuk sekaligus menyejukkan terasa di sana. Tampaknya Veritas menepati janjinya untuk tidak meninggalkanku sendirian dalam pertarungan ini.
"Kenapa, Kuro-kun?" tanyanya. "Bahkan setelah melihat semua rintangan itu... kamu masih terus melangkah maju...."
"Kenapa kamu tidak menyerah saja?"
To be continued
![](https://img.wattpad.com/cover/358877342-288-k296318.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Again, Kuro
RomanceKuromaru Akeron hanyalah seorang siswa SMA biasa yang selalu berpindah-pindah sekolah, menjauhkan diri dari keramaian, dan hidup seperti seorang zombie. Baginya, kehidupan hanyalah pola berulang yang membosankan. Namun, itu semua berubah kala dia pi...