Bab 3: Perubahan Pertama - Pelajaran dan Hidup

56 10 59
                                    

Cahaya merah-jingga dari mentari senja mewarnai langit yang membentang luas di luar sana. Tampak indah, tapi agak sedih. Yah, setidaknya ini lebih baik daripada cahaya menyilaukan tadi siang. Bel pulang sekolah juga telah lama berdering. Sebagian besar penghuni gedung sekolah-baik itu siswa-siswi, guru, maupun lainnya-telah pulang ke rumah masing-masing. Pengecualian bagi diriku yang masih terjebak di ruang belajar ini bersama Akari.

Pandanganku yang tadi terpaku pada jendela mulai diedarkan ke seisi ruangan yang berdinding biru terang serta berlantai coklat cream tersebut. Meja-meja dan kursi-kursi berbahan kayu lain tampak tersusun rapi dan masih kosong. Jelas saja. Siapa yang mau menggunakan ruang belajar di jam selarut ini? Apalagi di hari pertama semester baru.

"'Aku akan mencobanya sekali lagi', ya...?" Pandanganku secara perlahan beralih kembali ke arah meja yang berada di depanku. "Tadi siang aku memang bilang begitu, tapi..."

"... nggak langsung dihadapkan pada musuh besar juga, kali?!" Teriakku dalam hati ketika melihat tumpukan buku pelajaran beserta sepasang buku tulis dan pena-milikku dan milik Akari-yang berserakan di atas meja. Salah satu buku pelajaran terbuka, menampilkan teks berisi penjelasan, rumus-rumus, dan soal-soal latihan. Buku tulis milikku dan Akari juga terbuka. Bedanya, punya dia sudah penuh dengan coret-coretan pengerjaan soal dan penjelasan hasil mengajariku tadi, sedangkan punyaku masih putih bersih bagai kain lap yang baru dibeli.

"Kamu... benci pelajaran ini?" Menyadari raut wajahku yang berubah, Akari yang duduk di sebelahku melontarkan pertanyaan.

"Kau harusnya bisa mendapatkan jawabannya dari ekspresiku." Aku menjawab dengan nada dingin. "Memangnya ini terlihat seperti muka orang yang suka belajar matematika? Aku membencinya, bahkan membenci semua pelajaran!!"

"Daripada malah kusuruh latihan tersenyum lagi, mendingan begini, 'kan?" Akari mengangkat kedua tangannya dengan muka seolah tak bersalah.

"Dan lagi, kudengar orang yang penyendiri itu biasanya punya potensi lebih dalam pelajaran." Akari mengaitkan jari-jemari kedua tangannya di atas meja, menampilkan ekspresi layaknya detektif jenius yang sedang menganalisis. "Atau kamu memang pintar tapi berusaha menyembunyikan itu buat menghindari persaingan?"

"Aku bukan karakter utama anime, dasar cewek bodoh!!" semburku kesal. "Aku tidak bisa dan tidak berminat untuk mempelajari ini."

"Setidaknya coba dulu sampai malam!! Selain itu, namaku bukan cewek bodoh, tahu!!" Akari tampak tersinggung. "Namaku Akari. Lain kali panggil dengan benar."

"Dan lagi, bukannya kamu yang bodoh di sini? Setidaknya dalam hal pelajaran." Lanjutan dari perkataan itu seolah menusuk tepat di jantungku hingga aku terbatuk sedikit dan meraba dada.

"Mau protes, tapi memang kenyataan. Ya sudahlah."

"Iya, iya. Aku mengerti. Maaf, Akari."

Memanggil dengan nama depan begini rasanya canggung juga. Tapi, dia sendiri yang memintanya, jadi apa boleh buat, 'kan? Lagipula dia juga memanggilku pakai nama depan, bahkan di depan seisi kelas sekalipun.

"Permintaan maaf baru diterima kalau kamu mentraktirku makan siang di kantin besok," ujar Akari sembari tersenyum licik. Dalam sekejap, ekspresi wajahku berubah, seakan sedang berkata: "Woy!! Itu, sih, namanya pemerasan!!"

"Ahahahaha.... Cuma bercanda, kok," tawa Akari lepas. Sialan memang gadis satu ini. Bisa-bisanya bercanda waktu aku sedang serius.

"Baik, baik. Kita lanjutkan pelajarannya." Akari menepuk-nepukkan kedua tangannya layaknya guru yang meminta perhatian dari murid. Dia meraih lagi penanya, membuka halaman baru di buku tulis, dan menulis serta menjelaskan ulang langkah-langkah pengerjaan soal dengan 'bahasa alien' yang tak kumengerti. Memangnya remaja seusiaku harusnya sudah belajar materi yang rumit begini, ya?

Hello Again, KuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang