Bab 4: Perubahan Kedua - Olahraga dan Awal Perlawanan

50 9 27
                                    

Satu minggu lebih tiga hari telah berlalu sejak hari pertama di SMA Haruki, titik awal dari perubahanku. Sesuatu yang berada di luar dugaan, tapi nyatanya terjadi. Semenjak itu, hampir setiap hari Akari meluangkan waktunya untuk mengajariku. Entah saat jam istirahat, sepulang sekolah, atau di waktu lain. Walaupun..., nilai-nilai tugasku masih jeblok semua, sih. Ujian minggu lalu juga buntutnya remedial. Wajar saja. Aku ketinggalan pelajaran sampai bertahun-tahun dan kemampuan belajarku tidak sehebat Albert Einstein. Mana bisa menyusul posisi anak-anak lain secepat kilat.

Yah, setidaknya nilaiku mencetak rekor baru. Hasil usahaku mulai terlihat, lama-lama juga akan terus berkembang. Aku mulai berpikir kalau pelajaran akademis tidak seburuk yang dulu kupikirkan.

Tapi, masih ada momok lain yang menantiku. Parahnya lagi, momok itu sedang berada di depan mata kepalaku sendiri sekarang. Padahal aku sudah lega begitu menerima kabar dia ditunda, tapi ternyata ditundanya cuma selama seminggu. Kalian ingin tahu momok yang kumaksud itu apa? Bukan acara sosialisasi atau presentasi, melainkan... pelajaran olahraga.

Berbeda dengan matematika, sains, ilmu sosial, ilmu bahasa, serta kawan-kawannya, ini pelajaran yang selalu kubenci sejak lahir karena badanku tak atletis dan aku tak punya pengetahuan teoritis apapun tentangnya. Apalagi hari ini giliran praktek dan dilaksanakannya di lapangan terbuka karena gedung olahraga dipakai anak-anak kelas lain. Waktunya juga tepat tengah hari bolong waktu cuacanya terik menyengat dan cahaya mataharinya menyilaukan begini. Mana prakteknya pakai permainan bola basket. Ini, sih, namanya penderitaan 5 in 1.

Memang tempat terbaik bagiku adalah di bawah pohon beringin yang terletak tak jauh dari sudut lapangan ini. Dilindungi oleh bayangan dedaunan yang cukup rimbun dan dibuai oleh rerumputan hijau. Sendirian, tanpa bahaya, tanpa risiko. Lagipula guru mata pelajaran olahraga bukan tipe yang sebegitu perhatiannya pada murid, jadi tidak akan ada masalah. Aku tinggal melalui dua jam pelajaran ini tanpa disadari seperti hantu dan kembali ke kelas dengan aman.

Setidaknya, itulah rencanaku. Sayang sekali, rencananya tidak berjalan sesuai keinginan. Tepat saat sebuah siluet yang terasa familiar menghampiriku, aku tersadar tentang sesuatu yang sempat kulupakan.

"Apa yang kamu lakukan di sini sendirian? Katanya mau mencoba sekali lagi?" Siluet tersebut bertanya dengan suara feminim yang juga terdengar familiar sembari berkacak pinggang.

Kuangkat kepalaku untuk melihat apakah gadis yang sedang berbicara ini betul-betul orang yang kupikirkan. Dan benar saja, Akari Sakurai. Sial, harusnya aku sudah bisa menduga bahwa dia tidak akan menoleransi sikap kabur-kaburanku.

"Mata pelajaran yang satu ini, jadikan saja pengecualian," pintaku kepadanya sambil melipat kedua telapak tangan. "Kalau matematika kemarin adalah final boss, yang ini adalah true final boss. Sejak lahir aku nggak pernah bisa melakukannya. Levelnya benar-benar beda."

"Tidak ada alasan," sahut Akari dengan raut wajah serius. "Olahraga itu sama pentingnya dengan pelajaran, tahu."

"Tapi, aku-"

"Tidak ada tapi-tapian. Cepat sana." Dia menegaskan perintah, menyeretku ke arah lapangan sampai menarik perhatian murid-murid lain dan Pak Guru. Ya, kalian bisa mengartikan kata 'menyeret' di sini secara literal.

"Tinggalkan saja aku sendiri di sana," pintaku lagi. Perlahan bisa kurasakan cahaya dan panas matahari yang kejam menyergap tubuh ini. "Kembalikan ke surgaku."

"Kalau masih kabur-kaburan meski di satu mata pelajaran saja, berarti usahamu setengah-setengah," tegas Akari lagi. Tampaknya perintah dia sungguhan tidak bisa diganggu gugat.

Dengan mata yang agak disipitkan karena silau, kupandang 'calon teman-teman satu tim' yang semakin lama berada semakin dekat dengan posisiku. Sesuai dugaan, mereka menatapku seakan tak yakin dan jijik.

Hello Again, KuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang