Penglihatanku digantikan lagi, tapi kali ini oleh warna hitam yang teramat legam, tampak bagai sebuah kanvas kosong. Kesunyian menguasai suasana. Rasa sesakku berubah menjadi penasaran dan bingung. Mencoba memastikan apakah ini masih di alam bawah sadar, mulutku berkomat-kamit menghitung.
Angka seratus, dua ratus, tiga ratus, empat ratus, hingga lima ratus detik kulewati. Lalu akhirnya dering keras mirip alarm terdengar pada detik ketujuh ratus delapan puluh, diikuti oleh bunyi ranjang terguncang serta tombol dipencet yang mengusir dering itu. Cahaya menyilaukan datang dari arah jendela, pertanda fajar telah merekah. Cahaya itu menyingkap tabir kegelapan sekaligus mengungkapkan bahwa ruangan tersebut adalah kamar tidurku waktu kecil dulu, dan bunyi alarm tadi berasal dari jam weker. Seorang anak kecil berambut hitam pendek—diriku ketika SD—menyipitkan manik mata kelabunya, memandang nanar jarum jam.
"Sudah pagi lagi, ya? Cepat amat." Suara yang keluar dari mulutnya terdengar sangat pelan serta nihil semangat. Bocah lelaki itu merubah posisi tidurnya menjadi telentang, kemudian menutup kedua mata menggunakan lengan.
"Hari ini..., kelihatannya aku juga tidak usah masuk sekolah. Lagipula, cahaya dunia luar cuma akan mengingatkanku padanya."
"Mending balik tidur lagi, sebelum mereka-"
Tiba-tiba, si anak menggigit bibirnya dan secepat kilat menyumbat lubang telinga bagai kerasukan. Tubuhnya yang kini terlihat lebih kurus mulai gemetaran parah.
"Kenapa hari ini mereka datang lebih cepat dari biasanya, sih? Hei..., sudah berapa kali aku bilang? Diam dan pergi. Tinggalkan aku sendirian. Masih belum mengerti juga?" omelnya entah kepada siapa.
Akan tetapi, seiring waktu berjalan, si anak malah terlihat semakin menggila. Gemetarannya mulai berganti menjadi guncangan. Sirkulasi napasnya tak beraturan. Keringat dingin membanjiri piyama yang dia kenakan. Kakinya dibanting keras demi memberi tubuh dorongan untuk bangkit duduk. Di kala itulah aku melihat dirinya yang lain. Mata yang melotot penuh emosi dengan kelopak sembab dan mulut terbuka lebar seperti ingin meraung.
"Sudah kubilang diam dan pergi!!! Sana!!!" Bentakan menggelegar terlontar dari mulut anak lelaki tersebut.
Ketukan pelan dan lembut terdengar dari arah pintu kamar seolah diundang oleh bentakan tadi. Pasti itu ayah atau ibu.
"Kuro? Ada apa?" Benar saja. Dari balik pintu, ibu si anak bertanya dengan nada khawatir.
"Bukan apa-apa, kok. Aku cuma mimpi dikejar hantu." Meski apa yang dialami jauh dari kata 'cuma mimpi buruk biasa' si anak memutuskan untuk berbohong. "Tinggalkan saja sarapanku di depan pintu, ibu. Nanti aku akan memakannya kalau sudah tenang."
"Apa betul?" ucap sang ibu ragu. "Soalnya kamu kedengaran-"
"Jangan khawatir, ibu." Belum sempat ibunya menyelesaikan ucapan, si anak sudah lebih dulu memotong. "Aku baik-baik saja. Sungguh."
Suasana hening untuk beberapa saat, sebelum sang ibu mengiyakan dan melangkah pergi. Anak lelaki tersebut—diriku ketika SD—lebih tenang sekarang, tapi tetap saja tubuhnya gemetaran dan dia masih belum membuka telinganya. Dirasuki rasa penasaran dan rasa iba, kulangkahkan kaki mendekat, kemudian aku sadar apa yang membuatnya tertekan.
Aku mendengar semua suara yang diriku waktu itu dengar dan semua pemandangan yang diriku waktu itu lihat. Semua kenangan tentang Akari yang menghantui. Semua tawa dan canda saat kami bersama serta tangisan saat kami terpisah.
Apa diriku waktu SD... benar-benar melalui semua ini? Siksaan sekejam ini..., apa dahulu benar-benar ditimpakan kepadaku? Mengapa?
"Ah..., kenapa ingatan-ingatan itu masih belum juga meninggalkanku? Kenapa, sih...?" keluhnya tak bertenaga. "Kalau tahu begini, mending aku tidak pernah bertemu dan berteman dengan dia."
"Aku... ingin melupakannya saja."
"Semua tentang Akari...."
"Dengan begitu, pasti hidupku akan jadi lebih mudah dan lebih bahagia."
Tepat setelah itu, adegan di hadapanku kembali berganti, menampilkan ayah dan ibu tengah berdiri di hadapan diriku saat SD yang terduduk di ranjang. Tatapan dan raut wajah mereka menyiratkan kebingungan.
"Kamu benar-benar nggak ingat apapun tentang kejadian itu, Kuro?" Ayah mencoba memastikan. "Ataupun tentang gadis itu?"
"Ya. Kamu nggak lagi bercanda, 'kan?" tambah ibu. "Dulu kalian berdua dekat sekali, lho."
"Ayah ini bicara apa, sih?" Diriku ketika itu membalas, tak kalah bingung. "Ibu juga. Kejadian apa? Jangan-jangan ayah dan ibu yang mengerjaiku. Nggak lucu, ah. Sudahlah, aku mau tidur lagi."
Seiring dengan terdengarnya bunyi selimut ditarik, ayah dan ibu saling menatap. Pandangan mereka berdua nampak penuh arti.
Adegan yang kupandang pun berganti kembali, menampilkan ayah sedang berdiri dengan tatapan cemas menghadap seorang pria paruh baya berjas putih bersih di bibir pintu sebuah ruangan. Interior serba putih, meja kerja penuh buku dan peralatan kerja, kursi-kursi empuk yang nyaman, serta bingkai-bingkai berisi infografis menegaskan bahwa ruangan itu adalah ruang periksa klinik. Di dalam, tampak ibu sedang memeluk diriku ketika SD dengan ekspresi khawatir, sementara diriku ketika itu menguping percakapan ayah diam-diam.
"Jadi, bagaimana keadaan putra saya?" Ayah bertanya dengan ekspresi khawatir.
Pria berjas putih menginstruksikan agar ayah menenangkan diri terlebih dahulu, sebelum mengungkapkan hasil diagnosisnya.
"Berdasarkan hasil tes dan observasi yang kami laksanakan, putra anda menderita Post-Traumatic Stress Disorder. Kemungkinan besar, pemicunya adalah trauma akibat kehilangan salah satu orang terdekat baginya, yakni mendiang Akari Sakurai-san," jelas pria tersebut yang rupanya seorang psikiater. "Namun, itu bukan penyebab amnesia Kuro-kun karena amnesia tidak hanya terjadi selama PTSD terpicu. Putra anda memenuhi seluruh kriteria diagnostik dari gangguan lain. Ia mengidap Systematized Dissociative Amnesia."
"Kedua gangguan tersebut bisa disembuhkan dengan terapi dan obat-obatan, tapi saya tidak bisa memastikan berapa lama proses penyembuhannya akan berlangsung atau apakah dia mampu mendapatkan kembali semua memori tentang Sakurai-san atau tidak."
"Tidak...," sahut ayah. "Anda tidak perlu mengambil tindakan. Diagnosis itu saja sudah cukup. Setidaknya sekarang Kuro tidak mengingat tragedi itu lagi."
"Anda yakin? Membuatnya melupakan masalah itu bukan jalan keluar." Sang psikiater berusaha mengubah keputusan ayah. "Lagipula, bisa saja memorinya kembali lagi secara mendadak, Kuro-kun tidak akan siap menghadapi itu."
"Itu masalah nanti." Ayah menyanggah, masih teguh pada pendiriannya.
"Persoalannya bukan hanya itu. Ingatan Kuro-kun mengenai peristiwa traumatis tersebut memang hilang, tapi emosi negatifnya masih ada. Kuro-kun akan kesulitan bersosialisasi dan hidup secara normal."
"Saya hanya perlu mendorongnya untuk menghilangkan emosi negatif itu," sanggah ayah lagi. "Maaf, tapi keputusan saya telah bulat. Saya hanya ingin penderitaan putra saya berkurang, walau hanya untuk sementara."
Sang psikiater menghela napas, nampak kehabisan ide. Beliau mengangguk pelan. Mungkin di dalam hati beliau ingin memaksa, tapi khawatir usaha tersebut tetap takkan berbuah.
"Baiklah jika keputusan anda sudah bulat," ucapnya sembari mengukir senyum yang terkesan agak dipaksakan. "Tapi, jika kondisi Kuro-kun semakin parah, segera bawa dia untuk ditangani."
Itulah kata-kata terakhir yang kudengar serta pemandangan terakhir yang kulihat, sebelum pandanganku perlahan-lahan menggelap, penglihatanku tentang masa lalu yang terlupakan ini berakhir, dan aku diseret kembali ke dunia nyata di masa kini.
To be continued

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Again, Kuro
RomanceKuromaru Akeron hanyalah seorang siswa SMA biasa yang selalu berpindah-pindah sekolah, menjauhkan diri dari keramaian, dan hidup seperti seorang zombie. Baginya, kehidupan hanyalah pola berulang yang membosankan. Namun, itu semua berubah kala dia pi...