[6] kesempatan

520 68 2
                                    

.
.
.

Haechan kira permohonan penuh keputusasaannya dapat menggugah sedikit hati Jeno. Namun faktanya vampir itu malah berderap meninggalkan ruang makan, membiarkan permintaan Haechan menggantung tanpa jawaban.

Walau Haechan sebenarnya juga bisa menerka apa jawaban Jeno.

“Pasti ditolak sih,” kata Haechan, kemudian melengkungkan sedikit bibirnya, meski yang terpancar dari sana adalah kepedihan.

“Ya kalau dipikir-pikir lagi, logikanya, mana mungkin Jeno mau nurutin aku? Gimanapun kan aku—”

“Udah dibeli sama dia?”

Haechan tersenyum lagi kala Yeri dengan jitu menebak kelanjutan pernyataannya, “Kamu bosen ya denger aku bilang gitu?”

Namun Yeri tidak menjawab. Sebenarnya yang lebih mendominasi adalah rasa kesal, sebab Yeri tidak pernah nyaman dengan bagaimana cara Haechan memandang rendah kehidupannya.

Sayangnya, Yeri juga tidak bisa menyalahkan Haechan. Yeri toh sudah hapal latar belakang kehidupan Haechan.

“Tapi aku serius,” ujar Haechan, kali ini sembari menyibak helai rambut yang menutup dahinya.

Tangannya lalu ganti memperbaiki posisi ponsel agar kameranya tidak miring, “Kalau dipikir-pikir juga memang nggak mungkin Jeno mau ngelepasin aku, gimanapun aku sumber makanan dia dan dia yang punya hak atas hidup aku sekarang.”

Selalu begini.

Selalu seperti ini jalan pikiran Haechan dan Yeri kesal pertemanan mereka selama belasan tahun belakangan tidak sanggup mengubahnya.

Rasa kesal yang semakin memuncak ketika Haechan tiba-tiba terkekeh di seberang sana, “Mungkin Jeno juga pusing, dari semua sumber makanan dia, kayaknya aku yang paling aneh. Udah nekat suka sama dia, terus sekarang minta pembatalan kontrak darah.”

Bayangan Jeno yang mengomel sendiri membuat tawa Haechan mengencang, meskipun Yeri tak mengerti di mana letak lucunya celotehan barusan.

“Ratusan tahun dia hidup, mungkin baru sekarang dia berurusan sama manusia banyak minta kayak aku,” ujar Haechan lagi. “Apa dia kena karma ya? Eh atau mungkin akunya yang kena karma?”

“Aku nggak tahu dan nggak peduli soal karma. Tapi yang pasti, sumber makanan dia dulu nurut-nurut semua karena dia juga nggak pernah melanggar kontrak darah,” balas Yeri cepat.

Sorot matanya menajam, ketegasan seolah bisa menembus layar ponsel Haechan, “Enggak ada manusia sumber makanan dia yang jadi babak belur kayak kamu sekarang, Chan.”

“Aku nggak babak belur kok,” tutur Haechan, walau secara tidak sadar langsung memegangi lehernya yang masih terasa nyeri. Sudah berjam-jam berlalu sejak Jeno membunuh seorang manusia, tetapi lara yang diterima Haechan tak kunjung surut.

Tentu saja semua gestur itu ditangkap jelas oleh netra Yeri, yang kemudian cuma menghela napas panjang.

“Dari skala satu sampai sepuluh, sakitnya seberapa, Chan?”

“Udah nggak sakit kok,” jawab Haechan yang membuat bibir Yeri terkatup semakin rapat.

“Haechan?”

Diam sejenak, hingga Haechan akhirnya menggumam lirih, “Enam.”

Suara hela napas Yeri terdengar begitu kencang di sambungan telepon mereka, walau kepalan tangannya yang penuh emosi tak terlihat oleh Haechan.

“Besok ke rumah sakit, aku daftarin buat diperiksa Renjun,” ucap Yeri dengan nada final. Bahkan dia langsung menyambung ucapannya saat Haechan sudah membuka mulut, “Aku besok shift pagi, jadi bisa langsung input namamu. Renjun juga baru mulai praktik jam sepuluh, nggak ada alasan kamu kesiangan.”

saudade - a nohyuck fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang