[16] tangis sang vampir egois

680 65 10
                                    


.
.
.

“Tapi saya harap kamu nggak salahin Haechan karena dia nekat cari kerja tanpa sepengetahuan kamu,” ujar Jaemin lagi, sama sekali tak memberi kesempatan Jeno untuk mencerna situasi yang ada.

Mungkin mencari pekerjaan adalah hal sepele. Namun bagi Jeno, ini adalah kejutan besar, sebab selama ini Haechan selalu melibatkannya dalam pengambilan keputusan, bahkan untuk hal-hal sesederhana memutuskan rute campus tour yang akan diikuti di tahun kedua high school.

Kalau untuk hal sesederhana itu pun Haechan berunding dengannya, mengapa urusan mencari pekerjaan malah terkesan disembunyikan?

Ya ngapain juga dia bilang sama kamu, Jen, kalau dia emang berniat mau pergi?

“Toh pada dasarnya dia memang tetap berhak mencari pekerjaan kan? Saya juga nggak akan bikin dia melalaikan tanggungjawabnya sebagai sumber makanan kamu,” tutur Jaemin.

And he felt unsafe with you, he had to find a way out. Mekanisme kita bertahan hidup memang cuma dua, fight or flight, benar kan?"

Dan Haechan sekarang memilih untuk flight, untuk pergi, karena sekeras apapun dia mencoba untuk melawan Jeno, sang vampir tetap terjebak dalam arogansi.

Jeno sontak membuang napas. Kalau setiap sentilan yang diterimanya hari ini menimbulkan luka, Jeno rasanya sudah babak belur.

Namun bukanlah luka Jeno tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang Haechan rasakan?

"Lagian dia belum teken kontrak juga kok," kata Jaemin lagi. “Kalau kamu bisa provide keamanan dan kenyamanan untuk dia, mungkin dia nggak bakal lanjut apply jadi personal assistant saya.”

Ya bagaimana mau teken kontrak jika Haechan saja belum memasukkan lamaran kerja ke Jaemin?

Namun biarlah, sepertinya kebohongan Jaemin tak terlalu disadari oleh Jeno. Sebab faktanya sang vampir kini cuma terdiam, tenggelam dalam pikirannya.

Tenggelam dalam rasa bersalah yang semakin jelas tergambar di wajah. Jikalau rasa bersalah ini berwujud tembok tinggi, maka sekarang Jeno sedang nyata melihat keberadaannya tepat di depan mata.

“Udahlah, sana pulang aja, Jen, nggak lucu kalau nanti kamunya ikut kenapa-kenapa selama Haechan dirawat,” kata Jaemin, kembali fokus kepada tugasnya untuk mengusir Jeno. “Mau saya kabari hotel biar siapin satu kamar buat kamu?”

Jeno lantas kembali membuang napasnya, mungkin memang sebaiknya dia pulang dan beristirahat sejenak, ketimbang kepalanya terus dipenuhi dengan ketakutan Haechan akan kenapa-kenapa.

“Saya balik ke apartemen aja.”

Jeno ingin mereguk lebih banyak memori tentang Haechan, demi meyakinkan diri manusia-nya itu akan tetap baik-baik saja walau kini harus dirawat secara intensif.

“Kamu di sini sampai kapan?”

Jaemin berdeham sambil melirik jam tangannya, “Malam ini saya mau nemenin Renjun, besok mungkin baru ke hotel jam 8-an, mau prepare untuk acara siangnya.”

Jeno menganggukkan kepalanya, memang hotelnya menerima rombongan sejumlah sosialita yang ingin dilayani secara eksklusif oleh sang Executive Chef saat jam makan siang. Kebiasaan orang kaya memang terkadang tak masuk di akal Jeno.

“Pagi?”

Just a regular breakfast, jadi saya serahkan ke team leader saja,” jawab Jaemin sambil mengedikkan bahu.

Jeno hanya mengangguk lagi, manajemen memang telah menyerahkan semua kendali dapur kepada Jaemin dan sang jurutama masak selalu melampaui ekspektasi saat bekerja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

saudade - a nohyuck fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang