.
.
.Pada akhirnya Haechan memutuskan untuk pulang. Renjun benar, dia tetap harus meminta izin Jeno untuk melamar pekerjaan. Tak masalah walaupun berkas-berkasnya sudah siap kirim, jadi kapanpun Jeno memberi restu, Haechan akan langsung mengirimkan ke surel Jaemin.
Jelas keputusan ini membuat Yeri merengut. Haechan bahkan masih ingat bagaimana wajah teman sejak kecilnya tersebut.
“Padahal ini kesempatan emas.”
Haechan menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, “Tapi kalau nggak izin, nanti Jeno marah, terus malah ribut antara vampir sama fairy gimana coba?”
“Kalian lebay banget tahu nggak sih? Kayaknya Jeno nggak mungkin—”
“Yeri,” sela Haechan dengan raut seserius mungkin. “Dia aja bisa jadi untouchable walau udah bunuh banyak manusia, nggak sulit untuk mengobarkan perang antara vampir dan fairy hanya karena masalah ‘sepele’.”
Mungkin memang terdengar berlebihan, tetapi Haechan yakin, arogansi dan temperamen Jeno dapat membuatnya melakukan hal yang dia khawatirkan. Lagipula dia berniat untuk bekerja dan mendapat penghasilan dari Jaemin, jadi sebaiknya Haechan jangan membawa masalah baru.
Apalagi karena Renjun juga berjanji akan membujuk Jaemin supaya tidak terburu-buru menagih sosok asisten.
Kalau dipikir-pikir, untuk ukuran makhluk yang mengaku sebal karena dijodohkan, Renjun dan Jaemin sepertinya lebih akur dari perkiraannya. Malah mungkin hubungan mereka jauh lebih baik ketimbang Jeno dan Haechan yang bahkan sudah saling mengenal luar dalam.
Jadi begitulah permulaan hingga Haechan sekarang sudah duduk manis di dalam sebuah taksi. Argonya jelas tidak main-main mengingat jarak dari apartemen Jeno dan rumah sakit cukup jauh, tetapi Haechan mencoba untuk tidak ambil pusing. Toh dia membayar dengan kartu kredit Jeno, benda yang langsung dilemparkan oleh vampir itu setelah Haechan memprotes semua kejahatannya, seakan uang dan fasilitas serba ada yang diberikan Jeno dapat mengobati setiap sakit yang Haechan rasakan.
“Ini rutenya lewat tol ya, Pak?”
Haechan, yang semula termenung sambil mengamati langit biru yang membentang, langsung tergugah, “Iya, Pak.”
“Berarti argonya belum termasuk ya, Pak.”
“Oh iya, siap, Pak,” jawab Haechan santai. “Kartunya ada isinya nggak, Pak? Kalau nggak ada, saya top up dulu aja.”
“Aman, Pak, terima kasih.”
Dan setelahnya kembali hening. Haechan kembali ke kegiatan mengamati langit, menikmati arak-arakan awan yang bak kapas putih di atas sana, sementara sang sopir taksi cuma diam seolah memberi waktu untuk penumpangnya merenung.
Memang faktanya Haechan sedang merenung.
Sepertinya di antara semua keputusan yang pernah diambil dalam kehidupannya yang sudah dibeli ini, meminta untuk membatalkan kontrak darah adalah keputusan terbesar yang diambilnya.
Haechan hanya ingin kebahagiaannya kembali.
Demi Tuhan, dia tidak pernah ada masalah kalaupun umurnya habis untuk sekadar menjadi makanan vampir. Namun dia tidak mau umurnya habis dengan sia-sia seperti yang sekarang dialami. Apalagi karena laranya terasa dua kali lipat menyakiti, Haechan tidak mau terkungkung dalam derita ini lebih lama lagi.
Dan saat termenung itulah, tiba-tiba ponselnya berdering. Suara notifikasi yang sangat familiar untuk Haechan, apalagi karena memang secara khusus diaturnya hanya untuk Jeno.
![](https://img.wattpad.com/cover/359438741-288-k74686.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
saudade - a nohyuck fanfiction
Fanfictionsau•da•de - a deep emotional state of melancholic longing for a person or a thing that is absent Jeno merasakannya, tepat menusuk di hatinya, ketika Haechan terbangun tanpa mengingat dirinya. Namun untuk meminta Haechan kembali mengenang mereka pun...