[4] apapun, boleh?

361 71 0
                                    

.
.


“Kamu nggak pengin apa-apa gitu, Chan? Spesial ulang tahun nih, bebas mau apa aja.”

“Enggak, Jen, makasih. Semua yang kamu kasih udah cukup kok.”

“Serius?”

“Hmm... Kalau yang aku minta bukan barang, boleh?”

“Eh? Ya bilang dulu aja sih, biar aku tahu bisa dikabulin apa nggak.”

“Aku... Aku mau dipeluk semalaman sama kamu, Jen, boleh?”

.
.


Sepanjang ingatannya, sudah ratusan Hari Natal Jeno lewati. Selama itu pula ada sejumlah manusia yang terikat kontrak untuk menjadi penyuplai darah bagi Jeno.

Rata-rata mereka akan bertahan bersama Jeno hingga umur 50 tahun, sebelum sang vampir juga merasa darah manusia lanjut usia tak lagi nyaman di lidahnya. Setelah itulah Jeno akan membatalkan kontrak darah mereka — dengan baik-baik tentu saja — lalu dia akan kembali mendapatkan sumber makanan baru hasil pilihan keluarganya. Jeno hanya terlalu sibuk dan lelah jika harus memikirkan sendiri siapa manusia yang akan terikat kontrak dengannya.

Dan sepuluh tahun yang lalu adalah pertama kali Jeno berjumpa dengan Haechan. Manusia itu masih dalam wujud anak remaja berumur 13 tahun, sangat muda hingga membuat Jeno sempat iba karena bagaimana bisa panti asuhannya tega menjual Haechan kepada keluarga vampir bangsawan demi imbalan sejumlah uang.

Memang keluarga Jeno membayar mahal untuk mendapatkan mereka, termasuk Haechan. Bayaran mahal ini adalah jalan pintas supaya vampir bisa langsung menggelar ritual kontrak darah alih-alih harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan sederet tetek-bengek lain yang menyita waktu.

Dengan kata lain, Jeno langsung mengikat Haechan setelah remaja itu tiba di mansion keluarganya. Jeno sempat melihat ketakutan dan pemberontakan di mata Haechan, tetapi pada akhirnya manusia itu kalah dan tetap berakhir terikat dengan vampir.

Karena itulah Jeno berekspektasi Haechan akan memanfaatkan situasi dengan meminta banyak hal dari vampir yang terikat dengannya, sebagaimana yang biasa Jeno hadapi dari manusia-manusia sebelumnya.

Biasanya mereka akan meminta kehidupan yang mewah, barang-barang mahal nan mentereng, yang akan dengan mudah Jeno penuhi.

Namun Haechan tidak pernah meminta apapun, bahkan saat hari ulangtahunnya sekalipun. Haechan memang tak pernah menolak jika diberi sesuatu, tetapi juga tidak secara khusus meminta agar Jeno membelikannya barang tertentu. Haechan hanya akan menjalankan tugasnya sebagai sumber makanan dengan baik, lalu selebihnya bersikap layaknya teman hidup untuk Jeno.

Sudah dibilang, satu-satunya hal besar yang pernah diminta Haechan — secara tersirat tentu saja — hanyalah agar Jeno membalas perasaannya.

Namun Jeno tak menggubrisnya.

Hingga kini.

Hingga momen di mana Jeno mencoba merunut kembali sepuluh tahunnya hidup bersama Haechan, sembari menanti lift membawanya mencapai lantai tempat unitnya berada.

Fakta bahwa Hari Natal dan riwayat Haechan yang tak pernah meminta apapun membuat Jeno memikirkan sesuatu.

Dan pikiran itu sama sekali tidak tanggal dari kepalanya, bahkan sampai Jeno tiba di apartemen. Jeno lalu bersih-bersih sejenak, sebelum berakhir duduk di salah satu kursi makan yang tersedia.

Jeno duduk tepat di hadapan Haechan, kali ini dia bisa melihat cooling patch yang ditempelkan di area leher sang Gemini. Dari lokasinya, Jeno tahu itu adalah titik di mana taringnya selalu menembus untuk jalan keluar darah Haechan.

“Maaf ya, sarapannya aku bedain,” ujar Haechan sambil mendorong wadah beberapa topping pancake ke arah Jeno. “Oat-nya udah aku siapin dari semalam, jadi nggak mungkin ganti menu.”

Haechan tersenyum mempersilakan Jeno untuk mulai menyantap sarapan, menyisakan sang vampir yang diam-diam merasa tak enak hati. Bagaimanapun tadi dia berceletuk meminta pancake sekadar untuk menyambung obrolan, dan malah berujung mempersulit Haechan lagi.

“Hm.”

Namun Jeno cuma menjawab dengan dehaman, lalu perlahan memotongi menu sarapannya. Mereka lantas mulai makan dalam keheningan, meskipun Jeno akan sesekali mencuri pandang ke arah Haechan.

Keputusan yang berakhir membuatnya tersentil karena beberapa kali melihat Haechan mengusap area bekas taring Jeno dengan tangan kirinya. Mungkin luka itu masih berdenyut sebagai konsekuensi atas perbuatan Jeno dini hari tadi.

“Aku lihat pohon Natal mulai dipasang di lobi,” kata Jeno tiba-tiba, membuat atensi Haechan teralihkan sejenak dari denyut nyeri di lehernya. “Enggak kerasa ya, udah mau ganti tahun lagi.”

Sayangnya topik yang dibawa Jeno ganti membuat dada Haechan yang berdenyut. Kepalanya menunduk untuk menyembunyikan senyuman pedih yang spontan terbentuk, Jeno tidak tahu kalau Haechan selalu menghitung hari demi hari selama ini, membuatnya jelas merasakan perjalanan setahun belakangan.

Haechan hanya ingin tahu berapa lama waktu yang akan dihabiskannya untuk bertahan di antara semua luka yang diberikan oleh Jeno.

Namun semua kontemplasi itu disimpan di dalam benak, sedangkan mulutnya cuma melantunkan deham.

Haechan kira pembicaraan mereka akan berakhir di sini. Karena itulah, Haechan sungguh tak menyangka saat Jeno kembali membuka suara.

“Kamu mau minta apa?”

Sontak Haechan mendongak, mata bulatnya tampak mengerjap, “Minta apa?”

Jeno berdeham mengiyakan, “Buat hadiah Natal, kamu mau apa? Aku turutin apapun mau kamu, Chan. Yaaa... Hitung-hitung hadiah lah buat kamu.”

Bahkan kali ini, entah terkena angin dari mana, Jeno sampai menghadirkan cengiran seolah ingin berusaha meyakinkan Haechan akan keseriusan ucapannya.

Namun upaya Jeno bak menemui jalan buntu. Cengiran Jeno sampai kembali berubah membentuk sebaris bibir datar, lantaran Haechan tak kunjung memberikan jawaban.

Namun Jeno tetap memaksa diri untuk berpikir dengan logika, mungkin Haechan tengah memikirkan matang-matang permintaannya, jadi sebaiknya dia tidak memburu-buru, bukan?

Namun tepat saat itulah belah bibir Haechan terbuka, diikuti dengan sorot ragu di sepasang matanya, “Apapun, boleh?”

Jeno tiba-tiba diselimuti rasa cemas bila harus kembali menolak perasaan Haechan, sebab mendadak dia curiga si Gemini akan memanfaatkan tawarannya tadi untuk kembali mengungkap cinta.

Namun Jeno segera mengenyahkan pemikiran itu dan mengiyakan pertanyaan Haechan, “Hm.”

Lagi-lagi tak ada jawaban sekalipun Jeno dan Haechan sempat saling bertukar tatapan untuk beberapa saat. Karena itulah, Jeno kemudian menunduk dan mencoba untuk kembali fokus pada pancake buatan Haechan.

Tangan Jeno yang menggenggam pisau roti bergerak taktis memotong pancake, meski potongan ini berakhir tidak tuntas karena permintaan Haechan sangat sukses menyita atensinya.

“Kalau aku minta kamu bakar dan batalkan kontrak darah kita, bisa?”

Seketika sesuatu terasa meninju jantung Jeno, membuatnya langsung mengangkat kepala dan melempar tatapan tak percaya ke arah Haechan.

Kebimbangan itu masih ada di sepasang iris cokelat nan jernih milik Haechan, tetapi Jeno juga mendapati kobar keyakinan di sana.

Kobar yang seakan membesar, terutama setelah indra pendengaran Jeno menangkap dehaman pelan Haechan, yang lantas diikuti dengan senyuman tipis.

Could you just let me go, Jeno?”

Lega.

Haechan spontan merasakan lega setelah berhasil memuntahkan apa yang belakangan tak pernah absen dari renungannya.

Dan entah dorongan dari mana, Haechan merasa punya tenaga untuk menarik bibirnya agar membentuk lengkung senyum yang lebih jelas.

Mungkin ini hari terakhir Haechan akan mencoret kalendernya.

~ to be continued ~

saudade - a nohyuck fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang