[7] morning encounter - 1

383 61 2
                                    


.
.
.

Kupakai lagu di media untuk pengantar penulisan 4 bab ke depan (7-10), barangkali cocok juga untuk pengantar teman-teman membacanya.

.
.
.

Sekarang sudah pukul 07.10.

Jeno seharusnya sudah keluar kamar untuk sarapan lalu bersiap-siap berangkat kerja. Status sebagai vampir tak lantas membuat kewajiban Jeno untuk bekerja dan menghasilkan uang menjadi gugur begitu saja, apalagi karena ada seorang manusia yang telah menjadi tanggung jawabnya sekarang.

Tentu saja yang Jeno maksud adalah Haechan.

Haechan yang sekarang juga menjadi alasan Jeno ragu untuk keluar dari kamarnya. Sebab setiap kali kakinya mendekati pintu kamar, Jeno akan kembali teringat dengan percakapan panas mereka kemarin pagi.

Tentang bagaimana Haechan mendesak pembatalan kontrak darah mereka, dan tentang bagaimana Jeno memilih untuk langsung menghindar.

"Enggak ada pembatalan kontrak darah. Kamu harusnya lebih tahu caranya menempatkan diri, Chan."

Jeno juga tidak tahu darimana munculnya kata-kata tersebut - terutama yang bersifat memojokkan Haechan - tetapi bukankah sudah terlambat untuknya merenung? Toh pada akhirnya Jeno sudah menorehkan lagi sebuah luka di hati Haechan, dan dia bertingkah bak pengecut dengan kabur begitu saja.

Karena itulah Jeno mengurungkan niatnya untuk keluar kamar, walau sedetik setelahnya kembali terkesiap akibat pergerakan jarum jam.

07.20.

Sepuluh menit dihabiskan Jeno hanya dengan mondar-mandir dan mempertimbangkan akan bersikap seperti apa saat menghadapi Haechan nanti.

Dan hasilnya nihil.

"Jeno?"

Jeno spontan melonjak karena suara ketukan pintu yang mendadak menerjang telinga. Demi Tuhan, bukankah dia vampir? Bagaimana bisa Jeno sama sekali tidak mendengar langkah halus Haechan di luar kamarnya? Padahal sebagai vampir, normalnya, dia bisa mendengar hingga jarak beberapa ratus meter.

"Jen, udah siang lho. Kamu nggak sarapan? Kamu ada meeting, nggak lupa kan? Atau kamu sakit?"

Sebagai vampir, seharusnya indra penciuman dan pendengaran Jeno lah yang lebih peka. Namun kali ini Jeno malah merasa hatinya yang lebih peka dari siapapun, hingga mendadak dibuat tak nyaman usai mengidentifikasi kecemasan di setiap patah kata Haechan.

Sial.

Bahkan setelah Jeno menyakitinya sedemikian rupa, Haechan masih bisa terdengar mengkhawatirkannya.

"Jen? Aku panggilin Dokter Renjun kah? Atau mau dokter spesialis langganan kamu itu?"

"Enggak usah," balas Jeno akhirnya, sudah pukul 07.25 dan sebaiknya dia tidak menghabiskan lebih banyak waktu untuk hal tak berguna.

Sekarang hari Senin dan Jeno tidak bisa membayangkan akan sepadat apa lalu lintas ketika semua pekerja serta pelajar tumpah-ruah di jalanan. Jadi memang lebih baik bila dirinya berangkat lebih awal.

"Bentar lagi aku keluar."

Haechan hanya mengiyakan ucapan tersebut, lalu telinga Jeno menangkap langkah kaki yang menjauh. Kemudian Jeno ganti menangkap suara gerak tangan Haechan di meja makan, sepertinya dia sedang menata menu-menu yang dimasaknya. Baru saat itulah Jeno memantapkan diri untuk keluar dari kamar.

Yang sialnya membuat hidung Jeno langsung mencium aroma khas dari darah manusia.

"Aduh!"

Jeno bergegas mendekati Haechan yang kini sibuk meletakkan jemarinya di bawah kucuran air keran.

saudade - a nohyuck fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang