.
.Jeno tidak pernah sepanik ini.
Sudah ratusan tahun lamanya Jeno hidup di muka Bumi, berbaur dan beradaptasi dengan segala jenis atribut kemanusiaan yang ada, dan dia yakin tidak pernah hidup dengan sensasi semenegangkan ini.
Bagaimana jantungnya bertalu-talu sarat akan rasa cemas.
Bagaimana kakinya terasa lemas sekaligus kuat untuk dipacu demi menuju tempat tujuan.
Bagaimana benaknya penuh akan tanda tanya sekaligus memori-memori yang tak henti berkelebat.
Bagaimana batinnya hanya sanggup untuk terus menyerukan nama Haechan, Haechan, dan Haechan, sekalipun logikanya gamang menentukan alasan untuk melakukan.
Namun Jeno juga tahu, tidak penting untuknya membingungkan alasan atas semua tindak-tanduknya. Yang terpenting sekarang adalah segera mencapai ruangan tempat Haechan dirawat selama tak sadarkan diri lima hari ke belakang.
Sial!
Kenapa sih Haechan harus siuman ketika Jeno sedang dibuat pusing dengan pertemuan investor?
Sebentar, Jeno bukan bermaksud menyayangkan Haechan yang akhirnya kembali merengkuh kesadaran. Toh faktanya dia telah menantikan momen ini sejak detik pertama melihat Haechan melewati masa kritis pasca kecelakaan.
Jeno hanya menyayangkan fakta bahwa Haechan siuman saat dirinya sedang tidak berada di rumah sakit. Padahal mayoritas dari 24 jam dalam keseharian Jeno dihabiskan di rumah sakit, bahkan untuk bekerja sekalipun, semata-mata demi memastikan dirinya ada saat Haechan kembali membuka mata.
Namun manusia — atau mungkin vampir — berkehendak, Tuhan yang menentukan.
Sebab kini nyatanya Jeno sedang memacu kakinya, secepat mungkin, untuk mencapai kamar inap Haechan. Langkah kaki yang kemudian memelan saat koridor penuh familiaritas itu tertangkap jelas oleh netra.
Tenang, Jeno, tenang...
Jeno terus membisikkan mantra itu sembari mengatur napas dan debar jantungnya. Tangannya juga dengan taktis mengusapkan sapu tangan untuk menyeka peluh, lalu ganti membenahi tatanan rambutnya agar tampak lebih rapi.
Setelah dirasakannya semua sudah lebih baik, Jeno baru meraih kenop pintu. Bahkan Jeno tidak repot-repot mengetuk pintu karena merasa dirinya lebih dari berhak untuk masuk dan melihat kondisi Haechan sekarang.
“Chan...”
Bibir Jeno tak kuasa lagi menahan bisikan penuh kecamuk rasa tersebut. Matanya serakah meraup pemandangan akan sosok Haechan yang terbaring di ranjang.
Mata Haechan masih terpejam, tetapi Jeno tahu kesadarannya sudah kembali. Bahkan Jeno yakin panggilannya tadi membuat kelopak mata Haechan bergerak, mungkin bersiap untuk menyongsong kehadiran Jeno dengan binar jernih yang tak pernah lepas dari iris gelap Haechan.
“Haechan.”
“Jeno.”
Kepala Jeno menoleh, agak dibuat terkejut akan keberadaan temannya sesama makhluk mitologi, Renjun ternyata duduk di sofa tamu kamar inap Haechan sejak tadi.
“Jun,” ucap Jeno meski fokusnya sudah kembali kepada Haechan. “Kondisinya gimana?”
“Stabil, walau dokter bilang dia masih perlu banyak istirahat,” kata Renjun. “Tapi ada—”
“Oke, thanks,” ujar Jeno sambil berjalan mendekati ranjang pasien Haechan.
Senyumannya otomatis terkembang, seiring dengan rasa hangat yang memenuhi dada, sementara Jeno menyaksikan langsung perjuangan Haechan untuk membuka matanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
saudade - a nohyuck fanfiction
Fanfictionsau•da•de - a deep emotional state of melancholic longing for a person or a thing that is absent Jeno merasakannya, tepat menusuk di hatinya, ketika Haechan terbangun tanpa mengingat dirinya. Namun untuk meminta Haechan kembali mengenang mereka pun...