3. Rumah Mertua

93 5 0
                                    

Tok. Tok. Tok!

"Kak Zay. Buka pintunya! Buka pintunya sekarang!"

"Astaghfirullah hal adzim," kaget Zayna terbangun mendengar ketukan pintu di luar kamar hotel yang berisik di telinga. Siapa, sih yang mengganggu jam tidurnya di jam setengah empat pagi dan suara wanita itu tidak Zay kenal.

Zayna cepat-cepat memakai kerudung dan rasa kantuknya hilang begitu saja menyadari tidak ada keberadaan Fatih di sampingnya. Fatih tidak ada di sana! Fatih belum pulang!

"Apa salahku sehingga aku ditinggalkan seperti ini?" Mengelus dadanya yang terasa sesak sekali.

"Kak Zay cepat buka pintunya! Sudah bangun, kan?!"

Suara di luar kamar semakin keras. Zayna dengan langkah berat berjalan ke pintu. Mengintip dari lubang kecil di pintu, ternyata yang datang adik Fatih yang kedua bernama Latisa. Usianya baru menginjak 17 tahun dan masih duduk di bangku 12 SMA.

"Latisa?" kata Zayna setelah pintu dibuka. "Jangan gedor-gedor. Kamar lain bisa terganggu," tegurnya.

Latisa memasang ekspresi tanpa dosa telah mengganggu istirahat Zayna. "Iya, Kak."

"Ada apa? Kenapa datang jam segini?" tanya Zayna bingung. "Kamu tidak tidur? Naik apa ke sininya?"

"Naik gr*b car."

Zayna melongo. "Jam segini? Untuk apa?"

"Sudah jangan banyak tanya!" Latisa menyelonong masuk tanpa disuruh, mengabaikan kebingungan Zayna. Matanya melihat seisi kamar hotel itu. Terkagum dengan hiasan cantik kamar tidur pengantin. Dengan lancang mendudukkan pantat di atas tempat tidur. "Wah, jadi gini rasanya tidur di hotel. Enak sekali, tempat tidurnya nyaman banget."

"Apa yang membuatmu kemari subuh-subuh, Sa?" tanya Zayna tidak nyaman dengan kedatangan Latisa.

"Kak Fatih memintaku untuk mengambil kopernya, dia membutuhkan baju yang ada di koper itu," lontar Latisa tanpa melihat ke lawan bicara.

"Di mana Mas Fatih sekarang? Kenapa tidak ambil sendiri?" tanya Zayna dengan cepat, keningnya berkerut. Zayna semakin dibuat bingung dengan Fatih. Sudah tidak kembali ke hotel, tiba-tiba menyuruh adiknya untuk mengambil koper miliknya di jam subuh.

"Di rumah."

Jawaban singkat Latisa langsung membuat kaki Zayna lemas, tidak sanggup berdiri. Dia duduk di kursi meja rias. Fatih benar-benar telah tega mengabaikan dirinya. Menunggunya sampai tertidur, tidak tahunya sedang bersantai di rumah.

"Cepat ambilkan koper milik Kak Fatih. Aku akan pulang sekarang," perintah Latisa tanpa berkata meminta tolong. Gadis remaja itu hanya melihat sekilas Zayna dengan tatapan tidak suka. "Jangan kaget begitu. Aku memang tidak suka dengan Kak Zay sejak pertama kali bertemu," ungkapnya dengan senyuman sinis.

Zayna menghela napas berat mengetahui sifat asli Latisa padanya, berbeda saat pertama bertemu. Sungguh bermuka dua. "Aku tidak pernah memaksa orang lain agar menyukaiku, tapi aku sudah menjadi istri dari Kakakmu, Sa. Begitukah sikapmu padaku?" tegur Zayna.

Latisa turun dari ranjang dan berdiri di depan Zayna. Raut wajahnya kesal. "Halah! Jangan banyak bicara. Mana koper Kak Fatih!" sungutnya.

Zayna menahan kesabarannya. Ingat! Gadis remaja itu adalah adik dari suaminya yang masih labil. Dengan terpaksa membereskan isi koper Fatih dan menutup koper lalu diberikan pada Latisa.

"Lama banget, sih, Kak!" Latisa merampas koper besar itu dengan kasar. "Oh ya kata Kak Fatih, rumah barunya belum bisa ditempati karena masih perlu ada yang diperbaiki beberapa hari. Jadi abis check out langsung pulang ke rumah."

"Ke rumah siapa?" Bingung Zayna.

"Ya ke rumah keluargaku dong, Kak. Ikut suami, masa baru menikah pulang ke rumah masing-masing. Nanti apa kata orang," dumel Latisa kemudian dia menyeret koper keluar dari kamar itu tanpa berpamitan atau mengucapkan salam lebih dulu.

Zayna geleng-geleng kepala melihat tingkah Latisa. Tidak habis pikir sikap adiknya Fatih itu.

****

Perasaan kecewa itu Zayna luapkan pada dua rakaat shalat subuh, menggelar sajadah di atas lantai.

Pukul setengah tujuh pagi, Zayna turun untuk sarapan. Di lantai tempat untuk breakfast, Zayna ditanya oleh petugas 'berapa nomor kamarnya' lalu berkeliling untuk melihat menu sarapan apa yang tersedia agar tidak bingung saat mengambil makanan.

"Mbak Zayna, kan? Yang kemarin mengadakan pernikahan di gedung?"

Zayna kaget ada yang mengenalinya. Bagaimana bisa seorang ibu yang hendak mengambil piring itu mengenali dirinya? Zayna pun mengangguk sebagai jawaban.

"Wah .... Selamat, ya atas pernikahanmu semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah." Ucapan doa dan selamat dari ibu-ibu itu sangat antusias, seperti turut merasa kebahagiaan sebagai pengantin baru.

Apa itu pengantin baru? Rasanya Zayna ingin menertawakan dirinya yang perlu dikasihani.

"Aamiin. Terima kasih, Bu atas doanya," balas Zayna sopan menampilkan senyuman palsu.

"Sama-sama. Ngomong-ngomong di mana suaminya?" Ibu itu mengedarkan pandangan mencari suami Zayna.

Zayna terdiam sejenak. Tak tahu harus menjawab apa. "Masih di atas, Bu. Saya disuruh sarapan dulu." Melontarkan jawaban dengan terpaksa berbohong agar dirinya tidak merasa malu.

Duh, astaga. Pagi-pagi mood Zayna sudah rusak. Nafsu makan sudah hilang, akhirnya Zayna hanya sarapan sedikit saja. Dia ingin cepat-cepat kembali ke kamar dan menghubungi Fatih agar nanti siang menjemputnya.

****

"Anda baik-baik saja?"

Zayna agak sedikit terkesiap saat suara Pak supir taksi itu sejenak terdengar mengisi hening dalam taksi. Taksi yang terus melaju memecahkan jalanan. Zayna membalas agak ragu, "Maaf? Maksud Bapak?" tanyanya.

Lelaki tua itu tertawa canggung. "Maaf jika pertanyaan tadi meninggalkan kesan yang tidak sopan. Saya hanya cemas. Soalnya Anda melamun sejak tadi dan terlihat pucat. Apa sedang sakit?" tanya Pak supir khawatir.

Zayna jadi mendadak merasa bersalah tatkala lelaki tua itu mengkhawatirkan dirinya. Zayna menggeleng lambat. "Alhamdulillah, baik-baik saja, Pak," jawab Zayna meyakinkan. Dia hanya merasa pusing dengan keadaan setelah menikah. Dibuat bingung. Dibuat kecewa. Dibuat sedih. Semua campur aduk.

"Syukurlah," ucap Pak supir itu merasa lega.

Pandangan Zayna dipalingkan ke luar jendela, menatap jalanan yang terasa menggelitik batin. Kemudian hening kembali menyapa kembali dan Zayna nyaris terlelap di kursi penumpang bersama hujan yang terus datang.

Zayna merasa baru memejamkan mata selama tiga puluh detik saat taksi tahu-tahu sudah berhenti berjalan, decit rem terdengar bergema dan suara supir taksi kembali terdengar, "Sudah sampai tujuan."

Kedua netra Zayna mendadak melebar, pandangan ke sisi jendela, gerbang rumah sedikit terbuka terlihat dalam pandangan. Rumah itu milik keluarga Fatih. Terakhir berkunjung satu bulan yang lalu.

Zayna menyerahkan sejumlah uang dan mengucapkan kata terima kasih kepada supir taksi. Tangan dibaluti handsock hitam membuka perlahan pintu mobil dan sebelum turun, dia melebarkan payung. Dia dibantu sang supir mengambil koper di bagasi mobil.

Zayna menyeret koper sembari menghindari genangan air hujan mengalir di aspal ke tempat lebih rendah. Jantung Zayna berdebar tatkala berdiri di depan rumah itu. Pikiran bertanya-tanya, bagaimana reaksi dan apa yang akan Fatih katakan pertama kali saat melihatnya di rumah keluarganya setelah Fatih meninggalkan sendiri di kamar hotel?

Zayna mengetuk dua kali, keringat dingin terasa bercokol di pelipis saat dia akan mengucapkan salam. Menarik napas panjang lalu mengucap salam, "Assalamualaikum."

Tetapi, tetap saja tidak ada jawaban. Rasanya semakin tidak nyaman. Ditambah tidak nyaman harus tinggal satu atap dengan mertua. Harapan Zayna setelah pulang dari hotel langsung tinggal di rumah baru, harapan itu pupus sudah.

"Assalamualaikum," ulang Zayna sambil mengetuk pintu.

Tok.

Kakakku Meminta Untuk Berbagi SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang