6. Setelah dipermalukan!

92 3 0
                                    

Setelah meja makan itu bebas dari peralatan makan, Hasan memandang Zayna yang tengah menunduk dalam-dalam. "Nak Zay, bisa angkat kepalanya cantik?" pintanya dengan suara lembut karena tidak ingin membuat Zayna ketakutan di hari pertama satu rumah. "Saya tidak akan marah, tenang saja."

Awalnya jantung Zayna berdebar tak karuan, suara lembut dari Papa Fatih bisa membuat jantung berdetak normal, jemarinya yang tadinya gemetaran mulai rileks. Perlahan kepala terangkat. Memberanikan diri menatap Papa Fatih, Mama Fatih, serta suaminya secara bergantian. Zayna merasa sangat dipermalukan! Memang sengaja Dona ingin menjatuhkan Zayna dari keluarga Fatih. Keterlaluan! Awas saja kalau bertemu, huh! Zayna tidak terima!

Desi menarik napas dalam-dalam. "Benar apa yang dikatakan Dona?" tanyanya dengan amat serius.

Zayna tertegun menyadari wajah Mama Desi memerah, kedua tangan disilangkan di bawah dada, tatapan berbeda dari sebelumnya. Zayna menjadi panik cemas, dan ketakutan membuat lidahnya kelu tak bisa berkata-kata. Sangat takut Mama Desi marah besar padanya.

"Jawab pertanyaan Mama," paksa Desi.

"Ma, sudah. Jangan ditanya. Lupakan apa yang dikatakan Dona. Bisa jadi wanita itu mengarang cerita. Tidak perlu dibahas, 'kan, Ma, Pa?"

Seketika kepala Zayna menoleh ke suara dingin itu, walaupun dingin mampu membuat Zayna jauh lebih tenang. Melihat muka suaminya dari samping, dia mengira Fatih akan terus diam membiarkan dipaksa menjawab. Tiba-tiba tangan Zayna ditarik oleh Fatih untuk pergi dari ruang makan.

"Fatih berhenti dulu. Mama perlu bicara sama istri kamu."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Ma." Fatih melangkah naik ke lantai atas sambil menggandeng erat tangan Zayna. Melepaskan tangan Zayna saat sampai di kamar.

Kedua pengantin baru itu duduk di sofa agak berjauhan. Dua menit berlalu. Setelah dirasa tenang, Zayna berbicara lebih dulu sambil menoleh sekilas ke Fatih. "Terima kasih, Mas."

"Hm." Balasan hanya gumaman.

Zayna terselamatkan dari pertanyaan Mama Desi. "Maaf, Mas. Aku akan bercerita apa yang terjadi di masa laluku. Yang dikatakan Dona memang benar, aku dulu gadis yang suka pergi ke club, berpakaian sexy. Aku dulu wanita yang buruk, wanita yang tidak pantas disebut dari kata sholehah, a-ak-aku ...." Tiba-tiba Zayna merasakan sesak napas, dadanya terasa ditekan hebat ketika sekelebat ingat kejadian di masa lalu.

Fatih langsung menghampiri Zayna. Panik sekali melihat istrinya kesulitan bernapas. "Zay! Zay! Kamu kenapa, Zayna?!" tanya Fatih segera menggendong Zayna dan merebahkan tubuhnya dengan posisi kepala lebih tinggi. "Zay, kamu tidak apa?! Jawab, Zay!" khawatirnya.

Mata Zayna memandang wajah Fatih tepat di atasnya tanpa berkedip. Fatih terus berusaha menenangkan, menyuruh Zayna beristighfar dengan pelan beberapa kali supaya tenang. Zayna menurut mengikuti Fatih yang sedang beristighfar sampai dirinya benar-benar tenang.

"Zay ta-kut kamu kece-wa, Mas. Ka-rena masa laluku," ucapnya tersendat-sendat.

Fatih menggeleng. Mengelus dahi Zayna yang berkeringat. "Tidak, Zay. Mas tidak kecewa. Setiap orang mempunyai masa lalu masing-masing. Kamu sedang berhijrah, jadi berhentilah menceritakan masa lalumu. Kamu tidak perlu diceritakan pada siapapun. Termasuk kedua orang tuaku. Kamu tenang saja, biar aku berbicara mencari alasan agar Mama dan Papa tidak mengungkit masa lalu kamu. Aku akan berusaha menulikan telinga saat orang lain membicarakan keburukanmu di masa lalu."

Zayna mengangguk sambil tersenyum, ucapan suaminya mampu menenangkan dirinya. Syukurlah. Suaminya tidak peduli dengan masa lalunya. Ya Allah, Zayna merasa beruntung.

Cup. Tanpa Zayna duga, Fatih mencium keningnya. Pipi Zayna berubah merah merona. Mendapat kecupan kening untuk pertama kali baginya.

Zayna sadar kepala Fatih sekarang benar-benar di atas wajahnya dengan jarak amat dekat. Bahkan napas saling beradu. Fatih semakin memajukan wajahnya membuat Zayna menutupkan mata. Merasakan napas Fatih meraba-raba mukanya, namun tanpa berpikir panjang tangannya mendorong kuat dada Fatih agar tubuhnya menjauh.

"Kenapa?" Bingung Fatih.

"Aku belum siap, Mas," balas Zayna tersipu malu.

Bukankah Zayna kemarin malam kecewa dengan Fatih karena malam pertama tak disentuh sama sekali? Kenapa sekarang menjadi takut? Ada-ada saja.

Fatih terkekeh kecil. "Kan masih ada malam berikutnya. Tidak harus sekarang."

Zayna mengangguk. Tidak salah lihatkan? Dan tidak salah dengar? Fatih terkekeh! Ya Allah, akhirnya sifat dingin Fatih mulai mencair! Ini yang Zayna inginkan mendengar suara tawa kecil dari Fatih.

***

Fatih membangunkan Zayna dengan berbisik lembut ke telinga, "Bangun, Zay." Memperhatikan wajah istrinya tanpa kerudung. "Cantik," puji Fatih tersenyum, pertama baginya melihat mahkota panjang Zayna yang sehat terawat itu. Apalagi baunya, harum sekali.

Kali ini Fatih berusaha menjadi suami yang baik untuk Zayna, menepis dari segala pikiran negatif mengenai Yara. Kemarin malam alasan Fatih pulang ke rumah lebih dulu untuk merenung, menenangkan diri, dan sekarang sadar membuatnya merasa sangat bersalah.

"Hmmmmm?" Zayna hanya bergumam dengan mata masih terpejam, enggan membuka mata.

"Sholat tahajud dulu, yuk."

"Nggak dulu. Zayna masih ngantuk, Mas."

Fatih tersenyum kecil sambil menatap wajah Zayna tengah kembali terlelap. Lelaki itu tidak memaksa Zayna agar sholat tahajud, akhirnya sholat tahajud sendirian.

Zayna terbangun saat suara merdunya Fatih membaca ayat-ayat suci mulai terdengar semakin jelas. Diam-diam membuka mata, memperhatikan Fatih tengah duduk di atas sajadah sambil memegang Al-Qur'an. Masyaallah betapa tampannya Fatih saat memakai baju koko putih lengan panjang dan kopiah hitam.

***

Mengambil pembelajaran daring satu minggu membuat Zayna bosan. Sedangkan Fatih mengambil libur satu minggu, dia menjadi Dosen di tempat kuliah yang sama dengan Zayna. Selain sebagai dosen, Fatih membuka bisnis coffe shop dan bisnisnya berkembang pesat. Terbuka di beberapa kota.

Pukul lima pagi setelah subuhan, Zayna turun ke dapur berniat membantu Bi Astri yang sedang memasak untuk sarapan. Sebenarnya Zayna sedikit takut dan tegang bertemu dengan Mama Desi. Tapi mau bagaimana lagi? Masa iya harus menghindar.

"Eh, Nak Zay. Mau ngapain?" kaget Bi Astri dengan kedatangan Zayna.

"Mau bantu Bibi bikin sarapan."

Bi Astri gelagapan. "Tidak usah. Nanti Bu Desi marah sama saya. Sudah, Nak Desi duduk saja. Jangan bantu Bibi," jelasnya takut mendapat omel dari Desi karena membiarkan menantunya ikut masak.

"Nggak Papa, Bi. Zayna bisa belajar masak sama Bibi, nanti kalau Zayna pindah rumah, harus bisa masak sendiri."

"Aduh, bagaimana ini?" Bi Astri bingung sendiri.

"Tenang aja, Bi." Zayna mengambil pisau dan akan memotong cabe yang sudah dicuci. "Cara potongnya gini, ya, Bi?" tanya Zayna yang tidak tahu menahu, karena memang di rumah Mama Fani sama sekali tidak pernah menyentuh dapur.

"Iya, tapi itu kebesaran potongannya," tawa kecil Bi Astri melihat hasil potong bawang Zayna. Bi Astri merasa senang walaupun Zayna tidak bisa memasak, tapi punya keinginan belajar.

"Segini, Bi?"

"Nah seperti itu."

Zayna mengangguk mengerti. Dia melanjutkannya memotong bawang putih yang telah dikupas, matanya terasa panas dan berair seperti ingin menangis. "Potong bawang putih emang bikin mata perih ya, Bi."

Bi Astri mengangguk. "Kalau Nak Zay tidak kuat biar Bibi saja yang melanjutkan."

"Zay bisa kok—" ucapan Zayna terpotong.

"Zayna ...."

Zayna terjingkat kaget saat asyik sedang berada di dapur. Pemilik suara itu tak lain Mamanya Fatih. Zayna berbalik badan dengan kondisi mata berair dan perih melihat Desi berdiri tak jauh darinya.

"I-iya, Ma?" gagap Zayna.

"Mama perlu bicara."

Deg. Jantung Zayna seketika berdetak kencang. Aduh, ada apa ini? Zayna jadi ketakutan kalau Desi akan membahas kejadian semalam, memaksa menceritakan masa lalu lalu membuat Mama Fatih kecewa besar. Zayna tidak mau hal itu terjadi padanya! Jangan sampai dibenci hanya karena masa lalu!

Kakakku Meminta Untuk Berbagi SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang