12. Nafkah Batin

121 4 0
                                    

Yara mencuri pandangan, manik hitam memperhatikan jelas Zayna dengan Fatih sedang saling suap nasi kuning. Beberapa kali Zayna merengek dan sebal karena Fatih iseng tidak jadi memasukkan makanan ke mulut. Cemburu? Pastilah. Tapi apalah daya. Yara hanya bisa mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Mau pulang sekarang, Ra?" tanya Mama Fani.

Kepala Yara terangkat lalu mengangguk. Sudah tidak tahan lama berlama-lama di rumah baru itu. Semakin batinnya dibuat tersiksa, menyaksikan Fatih bermesraan dengan Zayna.

Fani menghampiri Yara yang duduk sendirian dan duduk di sampingnya. "Kamu baik-baik saja, sayang? Keringat kamu banyak sekali."

Yara segera meraih tisu yang tersedia di sana untuk mengelap keringat di dahinya. "Aku tidak apa-apa, Ma. Yara mau pulang sekarang," pintanya merengek. Pandangan kembali ke pengantin baru.

"Sebentar lagi, menunggu Papa selesai berbincang dengan Pak Hasan." Fani mengikuti pandangan Yara. "Adik kamu kelihatan bahagia sekali. Mama bersyukur Zayna mendapatkan lelaki seperti Fatih. Semoga kamu berjodoh dengan lelaki jauh lebih baik, ya, Nak."

"Aamiin, Ma. Doakan yang terbaik untukku," balas Yara. "Semoga aku bisa mengikhlaskannya dan semoga Allah mematikan perasaanku. Buatlah aku jatuh cinta lagi pada lelaki yang akan menjadi takdirku," batinnya berharap.

Bisakah Yara melupakan Fatih?

***

Pukul sepuluh malam. Rasanya melelahkan pindah ke rumah baru. Fatih melihat istrinya sudah tertidur di ruang keluarga dengan televisi menyala, padahal tiga puluh menit yang lalu Zayna masih sibuk makan popcorn sambil menonton drama Korea yang baru tayang. Tidak tahunya ditinggal sebentar ke kamar sudah terlelap di sofa.

"Bangun, Zay." Sedikit menggoyangkan bahu Zayna. "Kenapa tidur di sini?"

Zayna tidak ada tanda-tanda membuka kelopak mata. Fatih akhirnya memutuskan untuk membawa tubuh Zayna ke kamar. Ini pertama kalinya Fatih menggendong Zayna. Tubuh Zayna ringan bagi Fatih, dengan hati-hati menaiki tangga, takut membangunkan istrinya yang sudah terlelap.

"Mas," panggil Zayna lirih saat Fatih membaringkan tubuhnya di ranjang dengan pelan.

"Kenapa bangun?" Kening Fatih berkerut heran, tadi Zayna memanggilnya ketika menoleh matanya masih terpejam. "Apa dia mengigau atau pura-pura tidur?" batin Fatih menebak, pandangan ke bawah melihat tangan istrinya menarik-narik kemejanya hingga dirinya duduk di ranjang. "Maaf, aku membangunkanmu, ya?"

Zayna menggeleng kepala.

"Lalu kenapa, Zay?" Fatih bertanya bingung.

Perlahan mata Zayna terbuka, menatap Fatih tanpa berkedip.. "A-ak-aku mau malam ini," ucap Zayna tersendat-sendat dengan suara kecil. Pipinya merah tomat menahan malu. Bola mata bergerak ke arah lain, tidak ingin melihat bagaimana reaksi Fatih saking malunya meminta lebih dulu.

Fatih tersenyum mendengar itu. Akhirnya yang selama Fatih tunggu-tunggu sejak satu minggu ini.
Ya Allah, terkabulkan juga. "Apa kamu sudah siap, Zay?" tanya Fatih dengan serius, memperjelas maksud ucapan Zayna. "Aku tidak memaksamu untuk melakukan itu di malam ini, masih ada hari berikutnya," lanjutnya dengan nada selembut mungkin.

Zayna mengangguk. Beruntung sekali mempunyai suami yang mengerti dirinya, tidak pernah memaksanya. Enam hari Zayna menyiapkan mentalnya untuk melepaskan kesuciannya yang selama ini dia jaga baik-baik, rasanya tidak rela tapi mau bagaimana lagi? Mereka sudah menjadi pasangan suami-istri , sudah sepantasnya melakukan hubungan suami istri bukan? Lagipula Zayna telah menunda-nunda, malam ini paling tepat saat kesuciannya diserahkan kepada suaminya.

"Zayna siap malam ini, Mas." Zayna menelan ludah, dia gugup. "Terima kasih telah menungguku siap dan telah bersabar."

Fatih melakukan aksinya dengan lembut dan pelan-pelan. Beberapa menit berlalu, bola mata Zayna berkaca-kaca, perasaan terharu-biru saat menyadari dirinya bukan lagi perawan dara. Butiran bening air mata mengalir di pipinya, air mata pertanda bahagia dan cinta.

Dan malam itu kenikmatan surgawi yang fana, malam spesial bagi Zayna dan Fatih.

***

Setelah sholat subuh, Zayna malu-malu menyambut Fatih yang baru pulang dari masjid, pipi Zayna memerah mengingat kejadian semalam. Malam itu yang tidak pernah terlupakan. Zayna benar-benar bahagia melihat perubahan Fatih yang tidak lagi cuek padanya. Sangat-sangat bersyukur.

Zayna mencium punggung tangan Fatih dibalas ciuman singkat di dahinya, Zayna bingung ketika Fatih memegang ubun-ubunnya.

"Ya Allah. Tolong jauhkan dia dari tantangan-tantangan yang sulit dihadapinya. Biarkan dia selalu mendapat kemudahan. Beri istri hamba kegembiraan agar dia bisa dengan mudah memanjatkan doa dan rasa syukur kepada-Mu sebagai penjaga iman di hati kami. Ketika dia merasa lelah, perbaharui kekuatannya. Hamba sangat mengharapkan istri hamba selalu dalam keadaan baik, hanya kepada-Mu aku meminta." Fatih mendoakannya tepat di ubun-ubun Zayna.

Zayna tak mengerti ketika Fatih terdiam cukup lama dan tangannya memegang ubun-ubun kepalanya. "Ada apa, Mas?" tanya Zayna setelah Fatih menurunkan tangannya.

Fatih tersenyum. "Tidak apa."

"Mas mau sarapan pakai apa?"

Dahi Fatih berkerut. "Memangnya istriku sudah bisa memasak?" Ingatan Fatih kuat, mengingat Mama Desi pernah menyuruhnya untuk mengajarinya Zayna memasak.

"Bisa dong. Cuma belum terbiasa."

Fatih agak ragu pada istrinya. "Mau diajarkan?" tawarnya.

Zayna menggeleng keras. "Tidak, Mas."

"Ya sudah. Nanti kuliah kita berangkat bareng, ya."

"Lho bukannya Mas mengajar jam sore? Aku ada kelas offline agak siang. Nanti Mas nunggu sore terlalu lama di kampus."

"Sudah tidak apa." Fatih tidak masalah. Dia bisa bersantai-santai di kampus sebelum mengajar.

Zayna pasrah, tidak menolak. Lagipula berangkat bersama dengan Fatih ke kampus itu pertama kali baginya. Seharusnya senang, dong?! Mental Zayna sudah siap digoda oleh dua sahabatnya dan Zayna tidak sabar bertemu dua sahabatnya itu, padahal baru satu minggu tidak bertemu rasanya kangen berat.

Zayna membuka laptop untuk mengerjakan tugas yang belum diselesaikan semalam, sambil menunggu pukul enam pagi, katanya ada tukang sayur keliling—membeli bahan untuk membuat sarapan. Kamar tidurnya sangat nyaman, dia bisa melihat jalanan dari jendela dan duduk di meja belajar menikmati secangkir teh. Sementara Fatih sibuk dengan buku-bukunya. Ya seperti itu rutinitas pagi-pagi seorang Fatih. Hobi membaca buku sama seperti Zayna, namun Zayna cenderung lebih suka buku fiksi daripada non fiksi, berbeda dengan Fatih. Buku yang dibaca Fatih memiliki bacaan yang berat-berat.

"Mas," panggil Zayna menutup laptopnya, menoleh ke Fatih yang masih sibuk membaca.

"Hm?"

"Kapan-kapan kalau Mas nggak sibuk. Temenin Zayna belanja, ya? Untuk keperluan dapur, kulkas masih kosong."

Fatih mengangguk. "Boleh. Nanti Mas kasih tahu kalau ada waktu luang."

"Sayur! Sayur!"

Mendengar suara tukang sayur keliling, Zayna bergegas berdiri di dekat jendela. Badannya agak dicondongkan dan kepalanya keluar dari jendela. Dia berteriak, melambaikan tangan sambil memanggil-manggil dengan keras sampai tukang sayur kebingungan mencari suara yang memanggilnya.

"Di sini, bang! Di jendela!"

"Iya, Neng!" balas tukang sayur setelah melihat Zayna di jendela.

"Bang! Berhenti di situ, ya!" teriak Zayna lagi, tangannya menunjuk ke gerbang. "Sebentar!"

Dengan cepat Zayna turun dari tangga untuk menuju ke halaman rumahnya. Baru keluar dari pintu disambut embun pagi dan udara dingin membuatnya sedikit menggigil. Zayna berjalan cepat untuk membuka gerbang, menghampiri tukang sayur itu. Zayna memilih sayuran buat sarapan.

Kakakku Meminta Untuk Berbagi SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang