4. Menyalahkan Diri Sendiri

81 3 0
                                    

"Assalamualaikum," ulang Zayna sambil mengetuk pintu.

Tok.

Hanya satu ketukan, tiba-tiba suara lembut menyapanya saat pintu tiba-tiba terayun terbuka. "Wa'alaikumsalam, Zay?" jawab Desi, Ibu Fatih. Menatap Zayna dengan seraut wajah yang menyambut hangat.

Zayna tersenyum, tidak menunggu lama mencium punggung tangan Mama Desi. "Hai, Tan," sapa Zayna sedikit canggung. Di sisi lain merasa lega, untunglah bukan Fatih yang membukakan pintu.

"Hai, sayang. Astaga, Baru sampai? Ayo cepat masuk! Biar Mama yang bawakan kopernya." Desi meraih koper Zayna dengan memaksa walaupun Zayna menolak untuk dibawakan koper. "Kehujanan pasti? Maaf, ya sayang. Ini salahnya Fatih yang pulang duluan dan tidak mau menjemput kamu. Padahal sudah Mama paksa. Mama nggak tahu kenapa Fatih menjadi begitu. Cuek dan dingin," dumelnya.

Zayna mengerti sekarang, Fatih sengaja tidak menjemputnya. Sakitnya. Zayna pun bertanya apa di rumah ada Papa Fatih. Soalnya Zayna ingin menjaga sopan santun menemui kepala keluarga di rumah itu lebih dulu.

"Papa sedang keluar. Ada urusan mendadak. Nanti malam katanya pulang," tuturnya memberitahu. "Kok manggilnya masih Tante, sih? Mama dong."

"I-iya, Tan. Eh maksudnya, iya Ma."

Zayna mengikuti langkah Desi, rasanya canggung sekali akan tinggal di rumah itu. Terdengar suara berisik kedua adik Fatih yang sedang ribut di meja makan. Mengingat Latisa yang tidak menyukainya membuat Zayna enggan menyapa. Ah, setidaknya kedatangannya disambut baik oleh Ibu Fatih.

"Kak Zay, 'kan?!" teriak Adik Fatih yang terakhir bernama Denia, matanya berbinar senang. "Yey! Akhirnya Kakak tinggal di sini! Jadi ada yang membantuku mengerjakan PR!"

"Jangan teriak-teriak, Denia. Ayo kalian berdua salim sama Kak Zay," perintah Desi.

Dua gadis remaja yang berkepribadian berbeda itu berdiri untuk salim. Latisa tampak ogah-ogahan berbeda dengan Denia yang menghampiri dengan semangat, mencium punggung tangan Zayna. "Kak Zay harus janji, nanti kalau aku ada tugas sekolah harus bantuin, ya?" Memohon dengan puppy eyes.

Zayna mengangguk dan mengelus kepala Denia yang tertutup kerudung. "Pasti Kakak bantu, sebisa Kakak, ya. Tapi kamu harus belajar yang rajin agar bisa pintar seperti Kakakmu dan mendapat peringkat tiga besar."

"Siap, Kak!"

Latisa diam berdiri di depan Zayna. "Cih!" decihnya dengan bibir miring. Latisa benar-benar tidak menyukai kedatangan Zayna di rumah itu, apalagi tinggal satu rumah walaupun tidak akan lama.

Desi terheran-heran. "Kamu kenapa Latisa? Ayo cepat salim sama Kak Zay sebelum Mama antarkan dia ke kamar."

Latisa menggeleng tidak. "Tidak mau. Kenapa sih harus wanita itu yang jadi istri Kak Fatih? Apa tidak ada wanita lain, huh?!" tunjuk Latisa pada Zayna lalu kedua tangannya berkacak pinggang, bibirnya cemberut, dan sorot mata tajam.

Desi syok mendengar ucapan putri keduanya. Padahal Latisa dulu sangat menyukai Zayna sebelum menjadi istri sah Fatih, Latisa selalu memuji kecantikan Zayna. "Bicara apa kamu, Tisa? Mama tidak pernah mengajarkan kamu bersikap kurang sopan!" marah Desi. "Cepat minta maaf sama Kak Zay!"

"Kak Tisa! Jangan begitu sama Kak Zay!" seru Denia.

Zayna diam tanpa kata, menyembunyikan raut sedihnya dengan menarik sudut bibirnya. Kenapa harus menjadi istri Fatih? Bukankah karena perjodohan. Zayna juga tidak tahu mengapa menerima perjodohan itu.

"Ada apa ini? Ribut sekali."

Suara dingin Fatih membuat badan Zayna berbalik, melihat ke arah tangga. Di sana Fatih sedang menuruni tangga, pakai sarung dan baju lengan panjang. Pasti baru selesai melaksanakan sholat dhuhur.

"M-mas Fatih ..." lirih Zayna. Tak bisa dipungkiri Zayna sangat menyukai suaminya memakai sarung. Pertama kali baginya melihat Fatih pakai sarung. Seketika rasa kekecewaan lenyap ketika mengagumi ketampanan Fatih bertambah dua kali lipat ditambah rambutnya yang basah, wajahnya berseri-seri. Zayna tersenyum malu-malu.

"Baru datang?" Fatih sama sekali tidak terkejut Zayna sudah berada di sana.

"Iya, Mas. Baru sampai." Zayna langsung mencium punggung tangan Fatih.

"Fatih bawakan koper Zay ke kamar," perintah Desi sambil menarik tangan Latisa agar menjauh dari Zayna dan akan memberi nasehat. Desi benar-benar dibuat marah pada Latisa, tidak pernah berpikir sedikitpun Latisa berbicara kurang ajar pada menantunya. Bayangkan orang tua Zayna mendengar kata-kata itu, apa tidak akan marah?

****

"Ini kamarku." Fatih mempersilahkan Zayna masuk.

Zayna masuk ke dalam kamar Fatih untuk pertama kali. Bau ruangan harum dengan aroma parfum. Zayna melihat-lihat foto di sana, foto anak kecil dan foto keluarga Fatih yang terpajang di dinding. Foto keluarga Fatih ada anak kecil yang sedang digendong, pasti anak kecil itu Fatih.

Kamar Fatih bernuansa abu-abu terlihat elegan dan estetik, menciptakan suasana tenang dan nyaman pada interior. Dipadukan cat putih yang tampak bersih dan netral. Keadaan kamar rapih, tidak berantakan. Di sana juga ada sofa panjang yang empuk dan jendela kaca besar sehingga dapat melihat pemandangan jalan raya.

"Nanti bajunya masukin ke dalam lemari. Anggap saja rumah sendiri."

"Iya, Mas," balas Zayna sibuk melihat-lihat.

"Kamu sudah sholat?"

Langkah Zayna terhenti. Berbalik badan melihat Fatih dari jarak agak jauh. Menggeleng kepala lalu menjawab, "Sebentar lagi."

Fatih mengangguk. "Kalau lapar turun saja ke ruang makan. Mengenai rumah kita, mungkin seminggu kemudian baru bisa kita tempati."

"Iya, Mas."

Zayna tidak menyangka di balik kekecewaan semalam. Ternyata Fatih menaruh sedikit rasa perhatian padanya. Ya, meskipun jutek dan dingin. Sebenarnya ingin menanyakan perihal kenapa Fatih meninggalkannya sendiri di hotel, apa yang membuatnya Fatih berubah, tapi Zayna urungkan. Memilih membuka koper dan memasukkan baju ke dalam lemari.

Fatih duduk di atas ranjang dan diam-diam memperhatikan Zayna yang tengah sibuk dengan kegiatannya. Fatih berdehem, "Apa kamu tidak marah padaku, Zayna?" tanyanya memecahkan keheningan di kamar itu.

Zayna hanya menunduk tak menoleh. Marah? Tidak.

"Kenapa tidak menjawab?"

Zayna pun menoleh sambil tersenyum. "Aku tak marah padamu, Mas. Hanya saja kecewa," ungkapnya mengenai hatinya.

Fatih menelan ludah melihat senyum Zayna. Padahal dia sudah membuat istrinya kecewa, tapi mengapa Zayna masih mampu memperlihatkan senyuman begitu manis? Fatih pikir sesampainya di kamar Zayna akan marah-marah padanya, ternyata tidak. Zayna tenang dan tidak berkata banyak. Bahkan tidak menuntut untuk membahas kejadian semalam.

"Maaf ...." Fatih tahu permintaan maaf tidak dapat mengobati rasa kecewa apa yang Zayna rasakan.

Zayna diam dua menit, lalu menarik napas dalam-dalam. "Mas, bolehkah aku mendengar alasan kenapa tidak kembali malam itu? Kenapa kamu meninggalkanku?" tanya Zayna pelan. "Bila memang aku punya salah, tolong katakan," lanjutnya.

Fatih menggeleng. Jujur, merasa bersalah pada istrinya. "Tidak, Zay. Kamu tidak salah. Aku yang salah." Fatih menyalahkan dirinya. "Maaf sekali lagi."

Kakakku Meminta Untuk Berbagi SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang