Bagian 22

144 22 0
                                    

Dengan tubuh yang lemas, Zayyan ambruk dan kepalanya menghantam meja di gudang itu. Kepala Zayyan berdarah, dan tubuhnya yang tak terkendali saat jatuh menyebabkan berbagai barang di sekitarnya jatuh dan pecah dengan suara keras, menciptakan kekacauan yang mencerminkan kekacauan emosional yang ia rasakan.

Bibik, yang sedang mencari Zayyan dengan hati yang penuh kekhawatiran, mendengar suara keras itu. Ia langsung bergegas menuju gudang, di mana ia menemukan Zayyan yang pingsan dan terluka. Kepanikan melanda Bibik, namun ia segera mengumpulkan diri dan memeriksa kondisi Zayyan.

Bibik (dalam kepanikan): "Ayyi, sayang! Apa yang terjadi denganmu?" dengan suara gemetar, Bibik segera memanggil bantuan dan berusaha merawat Zayyan.

Zayyan tidak hanya berjuang untuk menghadapi konflik dalam keluarganya, tetapi juga untuk mengatasi kenyataan bahwa dia telah kehilangan ingatannya dan menemukan fakta kelam tentang ibunya. Konflik dalam keluarganya semakin rumit, dan ia harus berjuang untuk mencari kebenaran dan menerima kenyataan pahit dalam hidupnya.

Zayyan memahami bahwa kondisinya sangat kompleks. Selama bertahun-tahun, ia berjuang melawan dua kondisi sekaligus: Post-Traumatic Amnesia Syndrome yang membuatnya kehilangan ingatan dan merasakan nyeri kronis, serta ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan suhu panas. Sindrom amnesia post-traumatik membuatnya terdampar dalam kabut memori yang sering kali menyulitkannya untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

Tak hanya kesulitan ingatan yang meresahkan, Zayyan juga harus berjuang melawan rasa sakit yang tak kunjung usai. Kondisi ini semakin dipersulit dengan kenyataan bahwa ia tidak dapat beradaptasi dengan suhu udara yang panas, karena hal itu memicu reaksi fisik dan psikologis yang menimbulkan rasa tidak nyaman dan kesulitan bagi Zayyan.

Zayyan, yang biasanya berusaha keras untuk menemukan cara damai dan keseimbangan dalam kondisinya, terhempas oleh kenyataan pahit yang baru saja dia hadapi. Stres yang mendalam menyerangnya, merampasnya dari kemampuan berpikir dan merasakan kesadaran yang mencekik. Dia terjatuh dalam ketidakmampuan menyadari apa pun, seperti terhanyut dalam aliran gelap yang menyelimuti keadaannya. Hilangnya kesadaran baginya merupakan reaksi ekstrem atas kebingungan dan kecemasan yang menyerang dalam kondisi yang baru saja ia hadapi.

Setelah peristiwa traumatis di gudang, Zayyan akhirnya membuka mata di kamar tidurnya. Suasana di ruangan itu tegang, seiring berita insiden tersebut baru saja sampai ke telinga ibunya yang pulang dari pekerjaannya. Meskipun ibu Zayyan sedang kurang sehat dan hanya sempat tidur sebentar, tetapi tekadnya untuk pergi ke kantor di tengah hari tetap kuat. Keluarga Zayyan memang dikenal memiliki semangat kerja yang tinggi.

Dengan hati penuh kekhawatiran, langkah lembut ibunya mendekati Zayyan. Namun, ketika hampir menyentuhnya, Zayyan menarik diri dan menolak untuk disentuh.


Emosinya tak terkendali, dan dia merasa seperti dunianya hancur. Dalam kemarahan dan kebingungannya, Zayyan melemparkan beberapa barang ke penjuru kamarnya, membuat suasana semakin kacau. Mama Zayyan sangat bingung dan cemas melihat perilaku anaknya yang begitu berubah. Dia berbalik kepada Bibik, yang juga bingung dengan apa yang terjadi. 

"Kenapa, Bibik? Apa yang terjadi dengan Ayyi? Mengapa dia bereaksi seperti ini? Bagaimana bisa keadaan menjadi begini?" tanya Mama, mencoba mencari jawaban atas kekacauan yang mengelilingi Zayyan.

Bibik, yang merasa terombang-ambing dalam situasi yang rumit, hanya mampu menggelengkan kepalanya dalam kebingungan yang sama. Dia tak bisa memberikan jawaban pasti atas pergolakan emosi Zayyan yang begitu kuat.

Dalam keheningan ruang kamar yang penuh dengan gelombang emosi, Zayyan melepaskan erangan kekecewaan yang menusuk hati. Dengan kata-kata yang muncul dari luka kesedihan yang mendalam, dia mengeluarkan teriakan pahit yang merobek perasaan mamanya.

"Aku benci mama, pergi pergi!" Teriakan itu mengejutkan, membuat Mama merasa terluka dan bingung, tidak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi amarah dan kekecewaan yang begitu kuat dari anaknya.

Mama keluar dari kamar Zayyan dengan langkah berat, hatinya terasa remuk oleh kata-kata tajam yang baru saja dilontarkan anaknya. Dengan perasaan terombang-ambing antara kecewa dan kebingungan, dia mencari tempat untuk melepaskan beban perasaannya.

Mama duduk menangis di ruang tamu, keheningan rumah hanya dipenuhi oleh suara isak tangisnya yang sedih. Dia merasakan pukulan emosional yang begitu dalam, mencoba mencerna segala kompleksitas perasaan yang ada di dalam dirinya. Setiap tetes air mata menjadi saksi dari kepedihan hati seorang ibu yang berjuang mencari jalan untuk menyembuhkan hubungan dengan anaknya yang tengah dilanda amarah dan kekecewaan.

Husein pulang dan mendapati mamanya sedang menangis di ruang tamu dari kejauhan. Dengan rasa cemas yang mendalam, Husein segera mendekatinya, mempertanyakan alasan di balik air mata yang turun.

"Mama, ada apa, kenapa menangis?" tanya Husein dengan suara khawatir.

Dengan cepat menyeka air matanya, ibu menjawab, "Tidak, sayang, Mama hanya sedih melihat kondisi Ayyi."

Husein merenung sejenak, menyadari bahwa ia harus bicara dengan Zayyan. Dalam hatinya, ia bertekad untuk menuju kamar Zayyan, meninggalkan mama yang masih terhanyut dalam sorot kesedihan di ruang tamu yang seakan-akan menjadi saksi bisu peristiwa dramatis dalam keluarga mereka.

Dengan perasaan frustasi yang masih membara di hatinya, Husein melangkahdengan langkah cepat menuju kamar Zayyan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yangsulit dijawab, sementara hatinya bergetar oleh kekhawatiran dan kebingungan.

Keluarga Arkara (Zayyan & Hyunsik Xodiac) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang