Bagian 20

212 30 2
                                    

Keesokan harinya

Zayyan tidak berani untuk pergi ke sekolah. Pastinya mama dan papa tidak akan mengizinkan dia pergi, dan ditambah pikirannya masih dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan.

Pagi hari itu, suasana kesendirian menyelimuti Zayyan, yang sebenarnya sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Ia menikmati sarapan sendirian, hanya ditemani oleh alat makan dan bibik yang sibuk dengan urusan dapur.

"Bik, semua orang di mana?" tanya Zayyan dengan nada redah, mencoba mencari kejelasan dalam keadaan yang masih samar. "Oh, Tuan besar sudah berangkat. Hanya meninggalkan uang saku untuk den Ayy, dan nyonya ada di kamar, lagi tidak mau diganggu," jawab bibik sambil tetap fokus pada urusan sarapan Zayyan. "Kakak di mana, Bik?" tanyanya dengan ragu, mencari tahu keberadaan Husein.

"Den Husein, pagi lagi sudah berangkat. Katanya ada pertemuan dengan teman-temannya," ucap bibik, memberikan informasi tentang keberangkatan Husein.

Zayyan merenung sejenak, menyadari bahwa kakaknya mungkin masih merasa kesal atau marah padanya. Perasaan bersalah terus menyelubungi pikirannya. "Kakak pasti masih marah sama Ayyi," ucapnya dalam hati, menghadapi kekhawatiran akan kesulitan memperbaiki hubungan dengan Husein.

Setelah sarapan, Zayyan melihat bibik memegang piring makanan untuk mama. "Ayyi aja yang bawa, Bik. Gak papa, Ayyi mau ketemu mama," ucap Zayyan seraya mengambil piring dari tangan bibik.

"Den Ayyi, gak boleh. Kalau kamu kenapa-napa gimana? Ini berat, wajahmu masih pucat. Bibik saja yang membawanya, nanti kalau sudah di depan pintu, baru Den Ayyi yang bawa ke mama," kata bibik dengan khawatir.

"Baiklah, Bik," ucap Zayyan dengan nada pasrah, memahami kekhawatiran bibik akan kondisinya. Ia kemudian mengikuti bibik menuju kamar mama, membawa piring makanan sebagai upaya kecil untuk menciptakan kehangatan dalam situasi yang rumit.

Saat Zayyan memasuki kamar mama, ia merasa tegang namun tetap berusaha menjaga ketenangan. Mama duduk di kursi dekat jendela dengan tatapan yang kosong, mungkin terpancar dari perasaan yang rumit dan tersembunyi di balik matanya.

Zayyan mendekati mama dengan langkah yang pelan, membawa piring makanan. Bibik yang mengikuti di belakangnya tetap memperhatikan dengan ekspresi khawatir.

"Ayyi, Maafin Mama, ya," ucap Zayyan dengan suara lembut sambil menawarkan piring makanan.

Mama mengangkat wajahnya, dan ekspresinya sedikit berubah saat melihat Zayyan. Ada rona campuran antara kejutan dan haru di matanya.

"Ayyi, sayang...," gumam mama dengan suara yang hampir serak, seolah-olah mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dalam hatinya.

Zayyan hanya bisa menyampaikan senyuman kecil dan mencoba menciptakan momen kebersamaan yang tenang di antara mereka. Meskipun kata-kata mungkin belum mampu menggantikan semua yang terjadi, kehadiran dan niat baik Zayyan dapat menjadi langkah awal untuk penyembuhan keluarga mereka.

"Mama, makan ya," ucap Zayyan sambil meletakkan piring makanan di atas meja kecil di dekat kursi mama. Mama mengangguk pelan, mencoba tersenyum meskipun terlihat sulit. Bibik membantu menyusun kursi dan meja dengan cermat, memperhatikan setiap detail agar mama merasa nyaman.

"Maafin Ayyi, ya, Ma. karena Ayyi, mama dimarahi papa. Nanti Ayyi bakalan bicara dengan papa," ucap Zayyan dengan suara penuh penyesalan.

Mama menatap Zayyan dengan penuh perhatian. Ada campuran rasa haru dan tanggung jawab di matanya. "Gak papa, sayang. Papa gak serius kok marah sama mama. Ini bukan salah Ayyi," jawab mama dengan nada lembut, mencoba menghibur hati Zayyan.

Zayyan menarik nafas lega mendengar kata-kata ibunya, namun rasa bersalah masih terasa dalam dirinya. Ia merasa bertanggung jawab atas konflik dalam keluarganya, dan janji untuk berbicara dengan papa adalah langkah pertamanya untuk memperbaiki segalanya.

Mereka duduk bersama dalam keheningan, masing-masing mencerna kata-kata yang telah terlontar. Suasana haru dan rasa saling memahami mulai hadir di antara mereka, menjadi landasan untuk membangun kembali kehangatan dalam keluarga yang perlahan-lahan akan menghadapi dan menyembuhkan luka-luka yang terpendam.

"Mama, tadi malam pasti gak bisa tidur kan? Sekarang mama harus istirahat, ya," ucap Zayyan dengan penuh kepedulian.

Mama tersenyum tipis, mengangguk setuju. "Iya, sayang. Mama memang agak sulit tidur semalam, tapi sekarang mama akan coba istirahat sejenak. Terima kasih, Ayyi," ucap mama dengan suara lembut.

Zayyan membantu mama berdiri dan menuntunnya ke tempat tidur. Ia memberikan dukungan dengan penuh kelembutan, berusaha membuat mama merasa nyaman.

"Kalau ada apa-apa, bilang aja sama Ayyi, ya, Mama?" ucap Zayyan sambil merapikan selimut mama.

Mama menggenggam tangan Zayyan dengan lembut. "Terima kasih,sayang. Mama bangga punya anak sepertimu," ucapnya sambil memberikansenyuman hangat.

Zayyan mengamati mama sejenak, merasakan adanya sentuhan kehangatan dalam momen tersebut. Ia berharap bahwa dengan setiap langkah kecil ini, keluarganya dapat semakin mendekat dan pulih dari kisruh yang terjadi. Setelah memastikan mama nyaman di tempat tidur, Zayyan keluar dari kamar dengan harapan bahwa waktu istirahat mama dapat membawa ketenangan dan pemulihan.

Keluarga Arkara (Zayyan & Hyunsik Xodiac) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang