Bagian 23

199 32 4
                                    

Ketika pintu kamar Zayyan terbuka, suasana hati Husein langsung terasa tegang.

"Zayyan," panggilnya tanpa menggunakan panggilan sayangnya, dengan suara yang mencerminkan keteguhan hati dan ketidaksetujuan.

"Mengapa kamu selalu membuat Mama sedih? Aku baru saja ingin minta maaf, kenapa hal ini terjadi lagi?"

Zayyan, yang sedang berusaha menetralkan pikiran yang masih kacau, duduk di tepi tempat tidurnya dan menatap Husein dengan tatapan penuh pertanyaan.

Ia mencurigai apakah kakaknya menyembunyikan rahasia besar darinya. Sebelum Husein dapat mengucapkan lebih banyak kata, pintu kamar tiba-tiba terbuka, menghentikan percakapan yang terjadi.

Papa memasuki kamar dengan langkah cepat, wajahnya tampak serius.

"Apa yang terjadi di sini?" tanyanya dengan nada tegas.

Husein mencoba menjelaskan dengan suara yang masih penuh kemarahan, sementara Zayyan memegang kepalanya yang hampir pecah dengan keadaan yang terjadi sekarang.

"Papa, ini tentang Zayyan dan Mama," ujar Husein, mencoba merangkai kata-kata yang dapat menjelaskan keadaan.

"Aku hanya mencoba membuat semuanya menjadi baik, tapi..."

Papa mengangkat tangannya memberi isyarat agar Husein berhenti bicara.

"Baiklah, cukup. Mari kita bicarakan ini bersama-sama," ucap papa tegas dengan kekhawatiran yang terpancar di wajahnya.

Tiba-tiba, suasana berubah ketika Husein melepaskan emosinya.

"Tidak bisa terus begini, Zayyan harus mengerti bahwa ini bukan hanya tentang dirinya saja. Ini tentang keluarga kita! Mengapa kamu tak bisa melihat itu?" bentaknya dengan ekspresi kesal yang meledak-ledak.

"HUSEIN," bentak papa dengan mengangkat tangannya, membuat Husein terdiam sejenak.

"Kenapa berhenti, paa? Ayok tampar, Husein kan gak ada artinya bagi papa, semuanya tentang Zayyan bukan, zayyan terus kenapa?" Husein mencoba menjelaskan ketidakadilan yang sering terjadi di antara mereka berdua.

Ia berbicara dengan penuh emosi, menyampaikan frustrasinya atas situasi yang semakin rumit.

Namun, Zayyan yang sudah tidak kuat menahan keributan, akhirnya meledak dalam teriakan,

"Hentikan semuanya, keluar... Ayyi muak dengan semuanya!" Dengan usaha keras, Zayyan mencoba bangkit dari tempat tidurnya seraya berkata,

"Kalian menginginkan Ayyi pergi, kan?" Tekanan emosinya menciptakan gelombang ketidakstabilan, membuat keadaannya menurun secara drastis.

Akhirnya, ia kehilangan kesadarannya, tubuhnya lunglai di tengah ruangan yang penuh dengan kekacauan emosional. Suasana dramatis terasa begitu menyelubungi keheningan yang datang setelah seruan terakhirnya.

Dalam keheningan kamar Zayyan, suasana yang terasa tegang dan khawatir melingkupi rumah keluarga Arkara. Papa, dengan wajah penuh kekhawatiran, berusaha meredakan perasaannya yang kacau. Mama, tidak kalah cemas, memandang Zayyan yang terbaring lemah dengan mata berkaca-kaca.

Husein, keluar dari kamar dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan. Langkah-langkahnya cepat, menuju mobil yang seolah menjadi pelarian dari kekacauan emosional di dalam rumah. Setelah membuka pintu mobil, Husein duduk di dalamnya, membiarkan kemacetan pikirannya memenuhi ruang kecil kendaraan.

Di dalam kamar Zayyan, papa dan mama berdua saling pandang dengan ekspresi campur aduk. Mereka sama-sama mencari jawaban atas kondisi Zayyan yang semakin meruncing. Dalam keputusasaan, papa mengusap pelan kepala Zayyan, sementara mama menahan air matanya yang ingin tumpah.

"Bagaimana bisa begini, Ma?" bisik papa dengan suara serak.

Mama merespons dengan menggenggam tangan erat, tatapannya penuh kecemasan.

"Mama tidak tahu, Pa. Panggil dokter cepat." Suara kata-katanya terengah-engah, khawatir untuk sang anak yang terbaring lemah.

"Panggil dokter, Pa,' desisnya lagi dengan nada yang penuh dramatisasi, mencerminkan kekhawatiran mendalam."

Papa mengangguk, dan panik jelas tergambar di wajahnya yang pucat.

"Bibik, panggil dokter segera!" Suara panggilan tersebut terdengar gemetar, mencerminkan kegelisahan mendalam.

Bibik segera melangkah keluar dengan langkah cepat yang penuh urgensi untuk memanggil dokter. Kegelisahan dan kekhawatiran menciptakan ketegangan yang terasa di udara rumah keluarga Arkara, seolah waktu berputar lebih lambat dalam momen tegang itu.

Sementara itu, Husein, dalam kebingungan dan kehampaan, memandang jalan yang tak berujung dengan tatapan kosong. Rasa bersalah dan cemas merajai pikirannya, seolah menciptakan badai emosi di dalam dirinya. Mungkin ini saatnya untuk menghadapi kenyataan dan mencari pertolongan, namun langkah yang harus diambil masih terasa kabur di tengah kegelapan pikirannya.

Beberapa saat kemudian, langkah kaki dokter melangkah dengan cepat di koridor rumah Zayyan. Untungnya, dokter pribadi Zayyan sudah siaga dalam rumahnya, seakan merasakan urgensi keadaan. Dengan serius, dia melangkah menuju kamar Zayyan yang penuh kecemasan.

Dokter memasuki kamar dengan penuh perhatian, matanya fokus pada sosok Zayyan yang terbaring lemah. Dengan tangan yang terampil, dokter memeriksa Zayyan dengan seksama, mencatat setiap gejala dan perubahan kondisinya.

Udara di dalam kamar terasa tegang, seolah menahan napas menanti hasil pemeriksaan dokter yang menjadi kunci jawaban atas kondisi Zayyan.

Setelah beberapa saat ketegangan yang tercipta dalam keheningan, Zayyan akhirnya membuka mata. Namun, matanya hanya diam, tanpa sepatah kata pun sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di udara.

Keluarga Arkara (Zayyan & Hyunsik Xodiac) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang