Bagian 27

216 28 5
                                    

Tiba-tiba, deru tangisan Zayyan pecah seperti badai yang mengguncang hati, memecah keheningan malam dan menciptakan melodi kesedihan yang begitu menyayat hati.

Di Pagi Harinya...

Pagi itu, matahari muncul dengan segan di ufuk timur, menyinari pemandangan yang penuh dengan kepedihan. Zayyan, yang seakan terlempar ke dalam jurang kesedihan, merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

Setiap langkah menuju pemakaman terasa seperti beban dunia yang diletakkan di pundaknya. Langkah-langkahnya yang berat seolah mencerminkan rasa kehilangan yang begitu mendalam. 

Di bawah sinar matahari yang tajam, pemakaman yang sebelumnya hanya terlihat sebagai kumpulan batu nisan, kini menjadi panggung bagi duka yang tak terucapkan.

Setiap detik terasa seperti sebuah perjalanan menuju jurang kesedihan. Zayyan dapat merasakan kehampaan yang semakin menghujam di dalam dirinya, seolah setiap langkahnya menambah kedalaman rasa kehilangan. 

Pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan menuju pemakaman, seakan melambangkan duka yang menggelayut di setiap sudut hatinya.

Mawar putih yang dipegangnya gemetar dalam genggaman tangan. Setiap kelopak bunga menyimpan arti kesedihan yang sulit diungkapkan. Terdengar suara desiran angin yang mengusap wajah Zayyan, seolah menyampaikan belasungkawa alam semesta pada kehilangannya.

Tiba di pemakaman, Zayyan menatap makam Husein dengan sorot mata yang kosong. Batu nisan yang seakan menjadi gerbang menuju keabadian, memantulkan sinar matahari dengan kilau yang begitu menyedihkan. Zayyan berlutut di hadapan makam itu, menyadari bahwa kini Husein beristirahat di bawah tanah yang dingin.

Deru tangisan Zayyan pecah, seolah menciptakan gelombang kesedihan yang merambat di antara batu-batu nisan. 

"Kakak, kenapa tinggalkan Ayyi?" teriaknya dengan suara tangis yang sangat sendu, menyayat hati yang hadir di sekelilingnya. Suara kehampaan dan kehilangan Zayyan terdengar seperti lantunan yang menggema di padang pemakaman yang sunyi.

Pepohonan di sekitar seakan turut bergetar, menyaksikan momen perpisahan yang begitu pahit. Dua orang teman setianya, Leo dan Sing, mendekat dan menepuk lembut bahu Zayyan. Di tengah aroma bunga dan hening pemakaman, Zayyan terduduk di antara kenangan dan kehilangan, sementara matahari berusaha menembus kabut kesedihan.

"Ayyi, Husein akan selalu hadir dalam kenangan kita," kata Leo dengan suara yang lembut, mencoba memberikan sedikit kekuatan di tengah derita yang melilit. 

"Meskipun fisiknya pergi, namun kenangan dan cintanya akan terus bersinar di hati kita."

Sing, yang juga teman yang selalu ada dan setia, menambahkan,"Kita semua merasakan kepedihan ini. Kak Husein akan tetap menjadi bagian dari hidup kita. Ingatlah, dia selalu ada di sini," ujarnya sambil menunjuk ke hati Zayyan. 

Mata mereka penuh dengan air mata, tetapi di antara setiap tetesan itu, terpancar kekuatan untuk menjalani hari-hari tanpa kehadiran fisik Husein.

Namun, Zayyan tetap terjebak dalam kenangan tragis itu. Suara tangisnya menyatu dengan suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan, menciptakan simfoni kesedihan yang meresap ke dalam tanah pemakaman. 

Setiap kenangan bersama kakaknya menjadi luka yang terukir dalam jiwa, dan pemakaman menjadi saksi bisu dari kisah tragis yang tak terlupakan.

Flashback pada malam kejadian tragis itu.

Husein melihat adiknya yang terombang-ambing dalam kebingungan. "Ayyii, awasss..." teriak Husein dengan suara yang penuh kekhawatiran.

Ia segera meraih tubuh Zayyan dan mendorongnya ke samping, berusaha menyelamatkan adiknya dari bahaya tabrakan dengan truk yang melaju dengan cepat. Namun, takdir berkata lain, tubuh Husein yang terpental akhirnya menjadi bulan-bulanan laju truk tersebut.

Saat tubuh Husein terlempar, Zayyan memandang kejadian itu dengan mata penuh ketakutan. Waktu seakan berhenti sejenak, terpaku pada ketidakpastian yang merayap perlahan. Sementara itu, truk yang berjalan begitu cepat semakin menjauh, meninggalkan jejak kekhawatiran dan ketegangan di tengah malam yang gelap.

Suara klakson dan derap langkah langkah yang berhenti mendadak memenuhi keheningan malam. Tubuh Husein tergeletak tak berdaya di sisi jalan yang basah oleh gerimis malam. Wajahnya mencerminkan raut penderitaan dan pengorbanan, sedangkan Zayyan terduduk di sampingnya dengan mata yang terbelalak dan hati yang hancur berkeping-keping.

Deru angin yang semakin sayup merayapi tubuh Husein yang tergeletak di sisi jalan, menciptakan pemandangan yang semakin tragis di malam yang suram. Zayyan, dengan hati yang hancur dan tubuh yang gemetar, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mendekat dan melihat keadaan kakaknya yang terluka parah. Air mata langit dan air mata hati mereka bercampur menjadi sebuah lukisan duka yang melukai jiwa.

Orang-orang di sekitar yang menyaksikan kejadian itu segera memanggil ambulans, memahami bahwa waktu sangat berharga dalam situasi seperti ini. Suara siren yang mendekat semakin menambah ketegangan di udara.

Zayyan, dengan nafas yang tak beraturan, berusaha menelfon papa mereka, berharap bisa memberi tahu bahwa kecelakaan tragis telah menimpa keluarga mereka.

"Papa... Ka..Ka..k, paa," Zayyan berbicara dengan nada tersendat dan nafas yang terputus-putus. Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti beban berat yang sulit dipikul.

"Kecelak..kaan...," Keramaiaan orang orang disekitar dan suara ambulance terdengar sayup ditelinganya, Keheningan malam dipenuhi dengan suara suara siren yang semakin dekat, menciptakan atmosfer yang penuh duka.

Ambulans tiba di lokasi kejadian dengan cahaya kilatnya yang menyilaukan dalam gelapnya malam. Tim medis segera turun dan membawa brankar untuk mengevakuasi Husein yang terluka parah. Zayyan, yang telah sadar dengan kenyataan, terpaku melihat kakaknya yang terbaring lemah di brankar, tubuhnya penuh dengan darah.

"Kak... Kakak..." desis Zayyan, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin dan suara siren. Tim medis dengan sigap menangani keadaan Husein, memasang infus dan melakukan pertolongan pertama. Papa yang telah tiba di lokasi setelah menerima telepon panik Zayyan, melihat keadaan anak-anaknya dengan ekspresi kecemasan yang mendalam.

Keluarga Arkara (Zayyan & Hyunsik Xodiac) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang