˚‧。⋆🌻⋆。‧˚Kalau ditanya, seberapa penting kehadiran Renzo Arseno di hidupnya, Keira pasti selalu mengatakan bahwa mereka layaknya Batman dan Robin yang tak terpisahkan. Keira juga seringkali menganalogikan persahabatan mereka dengan berbagai kombinasi yang unik; Roti dan selai, bunga dan kumbang, laut dan garam, atau usus besar dan bakteri e-coli. Meskipun ada sedikit perdebatan di awal karena Seno tidak rela disamakan dengan sejenis bakteri, namun ia tetap setuju, bahwa Keira adalah sahabat sejatinya. Sejak semester pertama berkuliah. Sejak hari pertama menginjakkan kaki di universitas.
Di hari pertama tahun ajaran baru, Seno adalah orang pertama yang Keira lihat di pelataran fakultas. Begitu melihat pita merah tersemat di kerah pria berwajah cantik itu, Keira langsung menghampirinya.
"Arsitektur ya?!"
Adalah dua kata pertama yang Keira ucapkan saat pertama kali bertemu Seno. Gadis itu tersenyum sumringah. Seno sedikit kaget, lalu mata coklatnya pun tertuju pada kerah gadis itu. Ah warna pita yang sama. Akhirnya ia menemukan teman sejurusannya.
"Renzo." Seno memperkenalkan dirinya sambil tersenyum. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat.
"Renzo... Renzo Piano?" gadis itu membelalakkan matanya.
"Ya, diambil dari situ. Tapi bukan Renzo Piano." Ucap Seno. "Lo tau?"
Keira tertawa. "Dia salah satu arsitek luar favorit gue. Beberapa karyanya yang paling fenomenal, gue jadiin artikel di mading sekolah dulu."
Seno mengangguk-angguk. Namanya ini, diberikan oleh almarhum eyangnya yang juga seorang arsitek. Memang tak banyak yang tahu, tapi ia tidak menyangka akan datang hari dimana ada orang yang sadar bahwa nama depannya itu diambil dari nama seorang tokoh arsitektur postmodern asal Italia yang melegenda.
Dan sedikit Seno tahu, beberapa bulan kedepan, ia akan risih dengan nama panggilan itu dan memutuskan untuk menggantinya menjadi Seno. Bagaimana tidak? Semua masyarakat jurusan, terutama dosen-dosen di departemen arsitektur selalu mengungkit-ungkit tokoh Renzo Piano setiap kali ia memperkenalkan diri di depan kelas presentasi.
"Keira. Lo bisa panggil gue Kei." Gadis itu menjabat tangan Seno tak kalah erat.
Seno lagi-lagi tersenyum. Gadis berambut sebahu ini ternyata sangat periang. Mereka terus mengobrol dan langsung menjadi teman baik di hari itu.
Pokoknya, hampir di setiap peristiwa suka dan duka Keira di masa perkuliahan, selalu ada Seno di dalamnya. Sampai tak terasa, tahun demi tahun berlalu. Tibalah saat mereka harus lulus dan diwisuda. Keira merasa sedih. Gadis itu menyadari ia akan kehilangan sahabat, kakak, orang tua (sekaligus tukang ojek dan joki tugas pribadinya). Mereka tidak bisa bertemu lagi setiap hari seperti saat kuliah dulu.
Di pelataran auditorium, Keira merengek.
"Huee.. Seno... Gue bakal kangen banget sama kampus ini dan seisinya..." Keira dengan hati-hati mengelap ujung matanya yang berkaca-kaca, takut merusak riasannya.
"Termasuk gue, gak? Hehe."
Di sela-sela tangisnya, Keira memutar matanya sebal.
"Yaa... ya.. Lo termasuk deh." ucapnya malas. Disambut dengan gelak tawa dari Seno.
"Oh, tentu lo harus kangen gue. Coba, dimana lagi lo bisa nyari temen sekeren ini, Kei?" Seno jumawa, menyisir rambutnya ke belakang dengan jari.
"Huft.... lo jangan sombong-sombong ya, Sen. Nanti lo kalo udah kerja, meeting mulu, sok sibuk. Terus jadi bos, terus lupain gue, deh." Keira masih cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey Stupid, I Love You! | Kim Sunoo
RomanceSeumur hidupnya, Keira si arsitek muda seringkali mendengar dari banyak orang, bahwa mustahil untuk bersahabat dengan lawan jenis. Teman-teman sepermainannya di kampus pun juga mengatakan hal yang serupa. Bagi Keira, itu sangat bodoh. Ia meyakini ba...