7

84 16 11
                                    


˚‧。⋆🌻⋆。‧˚

Keempat arsitek muda Studio PGA terlihat sedang berkumpul bersama di ruang pantry sore itu. Mereka sedang melakukan coffe break, sembari memerhatikan kolega mereka, Seno dari kejauhan yang nampaknya masih sibuk bekerja. Di sebelahnya duduk Vinny, karyawan baru yang telah bergabung bersama mereka sejak tiga bulan lalu itu. Mereka terlihat sedang mendiskusikan suatu hal.

"Duh... makin lengket aja itu mereka berdua." ujar Bintang sambil berdecak. "Bang Seno menang banyak, beneran deh."

"Iya. Mereka jadi sering kerja bareng sekarang." timpal Dinda.

Keira hanya terdiam sambil menyesap cangkirnya.

"... Yah, bagus lah kalau mereka akur." ucap Keira.

"Tapi, ngerasa ada sparks between them gak, sih? Ini potensi besar bibit-bibit romansa kantor, atau gue doang yang ngerasa?" celetuk Arman.

"Gue juga ada feeling, mereka cocok, sih. Seno oke, Vinny juga." Dinda mengakui.

"Ah sial! Padahal Mbak Vinny tipe gue banget!" Bintang mengacak rambutnya frustrasi. "Gue belom sempet mepet, tapi Bang Seno yang gak ngapa-ngapain dapet duluan!"

"Bintang... sadar umur." ucap Keira.

Bintang terdiam. Sebagai anak magang dari program PKL sekolah kejuruannya, ia adalah yang termuda di antara mereka.

Dinda sontak menoleh pada Keira. "Lo kan paling deket sama Seno ya, Kei. Seno pernah curhat gak soal Vinny ke elo?"

Keira mencoba mengingat-ingat. "Curhat soal Vinny? Enggak, sih."

Seno mungkin pernah membahas soal Vinny, tapi hanya seputar pekerjaan. Di luar itu, Seno tidak pernah menyebut nama Vinny di percakapan mereka.

"Tapi betewe, dulu, gue kira lu sama Seno yang bakal jadian, Kei. Kalian kemana-mana bareng terus soalnya." celetuk Dinda.

Oh? Semua mata memandang ke arah Keira.

"Eish, kalau itu beda lagi. Keira sama Seno kan dulu emang sekampus, makannya akrab." kata Arman.

"Oh, kalian temen deket dri jaman kuliah? Ah.. i see. Kalau gitu enggak lah ya, berarti." Dinda mengangguk-angguk.

"Maksudnya?" tanya Keira sambil mengernyitkan dahinya.

Sebelum Dinda melanjutkan kalimatnya, seseorang tiba-tiba datang di antara mereka. Ah, Edy Suradi!

"Wah, arsitek-arsitek muda ini, gak di cafe, gak di kantor, minumnya tetap kopi hitam." guraunya sambil terkekeh, disambut tawa canggung dari keempatnya. "Sudah sangat menjiwai profesi ya kalian."

"Iya pak, hehe." Dinda meringis.

Edy terlihat kebingungan. Ia terlihat mencari-cari seseorang di antara mereka.

"Tapi saya lihat-lihat formasinya kurang lengkap ya? Biasanya ada..." ia mengusap dagunya, lalu sontak menengok ke arah lain. "Ah, itu dia disana!"

Keempatnya menengok ke arah yang ditunjuk oleh Edy. Oh, Seno.

"Wah... Seno. Memang gesit sekali dia. Cepat dan pandai ambil kesempatan."

"Kerjanya pak?"

"Bukan." Edy terkekeh. "Tapi soal perempuan. Haha. Lihat saja itu. Baru tiga bulan saja mereka sudah dekat. Bisa-bisa tahun pertama kita sudah dapat undangan pernikahan."

Keira dan tiga teman lainnya hanya tertawa awkward.

"Kalau Mbak Dinda sudah mau menikah tengah tahun ini dan Mas Arman sudah ada anak pertama..." Edy mengalihkan pandangannya pada Keira. "Berarti nanti di kantor ini cuma Mbak Keira saja yang single ya? Waah... Cepet lah Mbak, dicari sebelum ketinggalan sama yang lain."

Hey Stupid, I Love You! | Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang