Pondasi Ketaatan

1 0 0
                                    

"Saat dunia punya kedudukan di hati manusia, maka ia perlahan akan memgambil alih penghambaan seseorang, fokus yang ia bangun akan berlainan arah.

Pentingnya kita menyadari bahwa dunia hanya perantara menuju hidup yang panjang, tidak lebih dari sekedar tempat memaksimalkan usia dalam amal."

Seorang manusia akan melepas seluruh ikatan kuat tentang Allah saat hatinya dikendalikan oleh syahwat, dan perkara yang demikian akan membuatnya mendekati berbagai sisi kemaksiatan, disebabkan peetimbangannya bukan Allah, tapi pikiran sendiri.

Di sepanjang jalan yang telah menghabiskan detik-detik di tahun pertambahan usia kita, maka tak ada pelajaran paling berharga yang berhak tertanam kuat bagi diri kecuali kesadaran akan kasih sayang Allah. Isi kepala yang mungkin dipenuhi kesibukan dunia, hati yang terkadang bimbang terlepas arah, maka ingatlah kembali proses perjalanan yang sudah sejauh ini, bukankah Allah yang meneguhkan tapak kaki kita?

Ketaatan adalah target utama pencapaian seorang muslim. Akar-akarnya dibangun dari ilmu yang sesuai Al-Qur'an dan Sunnah, sehingga karakter keimanan akan menjadi bagian dari kehidupan, sekaligus bagian dari penguat jasad dan rohani. Maka pondasi untuk menguatkannya adalah ilmu. 

Dari Katsir bin Qois, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud no. 3641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).¹

Dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037). Yang dimaksud fakih dalam hadits bukanlah hanya mengetahui hukum syar’i, tetapi lebih dari itu. Dikatakan fakih jika seseorang memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan dengan syari’at Allah. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin.²

Jika kita terus-terusan menghamba kepada dunia maka hati yang tenang itu akan terutup, sebab ketenangan itu dari Allah, dan seseorang tidak akan menemukan rasa tenang pada hati yang bersanding dengan dunia. Dunia adalah tempat kenikmatan yang mengandung musibah, jika kita tidak bersyukur dan mengarahkan syukur itu kepada Allah maka kita akan mendapatkan musibah dengan merasa bahwa semua itu berasal dari usaha kita, bukan dari Allah.

Padahal mengambil bagian dari dunia dan memberikan ruang atasnya dalam hati adalah kesiapan diri menjemput duka, sebab setiap orang yang sudah berada pada barisan orang-orang yang telah berpamit dari dunia, sudah menyadari ketidakbernilaian dunia ini di hadapan Allah, jangan sesekali kita menenun harapan dan membangun harap yang besar kepadanya, pasti kecewa.

Allah Azza wa Jalla mengingatkan semua manusia tentang hal ini di dalam banyak tempat di dalam al-Qur’ân, antara lain firman Allah:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. [al-Hadîd/57:20]

Imam al-Alûsi rahimahullah berkata, “Setelah Allah Azza wa Jalla menjelaskan keadaan dua kelompok manusia (yaitu orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir pada ayat 19), Allah Azza wa Jalla menjelaskan keadaan kehidupan kelompok kedua (yaitu orang-orang kafir) yang merasa tentram dengan dunia, dan disebutkan bahwa kehidupan dunia itu termasuk perkara-perkara kecil yang tidak akan membuat orang-orang yang berakal condong dan tenteram kepadanya. Dunia ini ‘permainan’ yang tidak ada hasilnya kecuali capai, ‘dan suatu yang melalaikan’, melalaikan manusia dari perkara yang bermanfaat dan penting baginya, dan ‘perhiasan’ yang tidak akan menghasilkan kemuliaan hakiki, seperti pakaian-pakaian yang indah dan kendaraan-kendaraan yang bagus serta rumah-rumah yang tinggi, ‘dan bermegah- megah antara kamu’ dengan nasab dan tulang-tulang yang telah lapuk, ‘serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak’, dengan jumlah dan persiapan. Kemudian Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa bersamaan dengan itu, dunia itu cepat binasa dan segera hancur: ‘Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani’, demikian juga perhiasan dunia sangat mengagumkan orang-orang kafir. Adapun seorang yang beriman, jika melihat perkara yang mengagumkan, maka fikirannya akan tertuju kepada kekuasaan Penciptanya Azza wa Jalla, sehingga dia menjadi kagum terhadap kekuasaan Allah Azza wa Jalla . Sedangkan orang kafir, fikirannya tidak melampaui apa yang dia lihat, sehingga warna-warni dunia membuatnya tenggelam di dalam kekaguman. ‘Kemudian tanaman itu menjadi kering’, bergerak menuju akhirnya, yaitu menjadi kering setelah sebelumnya warmanya hijau dan indah. ‘Dan kamu lihat warnanya kuning’ yang sebelumnya kamu melihatnya indah dan elok, ‘kemudian menjadi hancur’, remuk karena kering.Allah Azza wa Jalla memisalkan waktu yang telah dilalui oleh manusia dengan dengan satu tumbuhan yang tumbuh dari karena air hujan, kemudian hancur dan binasa kurang dari satu tahun. Ini mengisyaratkan alangkah cepat dan dekat kehancurannya. Setelah Allah Azza wa Jalla menjelaskan kehinaan dunia ini dan memerintahkan manusia agar menganggap kecil urusan dunia dan menjauh diri agar tidak tenggelam di dalamnya, Allah Azza wa Jalla menjelaskan keagungan urusan akhirat, mengagungkan kelezatan dan kepedihan siksa di akhirat agar mendorong manusia meraih kenikmatannya yang abadi dan memperingatkan siksanya yang pedih. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras’, Allah Azza wa Jalla menyebutkan siksa lebih dahulu karena hal ini sebagai akibat tenggelam di dalam keadaan-keadaan kehidupan dunia yang telah dijelaskan, ‘dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya’. Penyebutan siksa yang pedih di hadapan dua perkara: ampunan dari Allah k dan keridhaan-Nya; demikian juga penyebutan ‘siksa yang pedih’ tanpa menyebutkan dari Allah Azza wa Jalla , mengisyaratkan kepada dominannya rahmat Allah Azza wa Jalla dan bahwa tujuan yang utama adalah kebaikan. ‘Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu’, yaitu bagi orang yang merasa tentram terhadap dunia dan tidak menjadikan kehidupan dunia ini sebagai sarana untuk kebaikan akhirat dan alat untuk meraih kenikmatannya. Diriwayatkan bahwa Sa’îd bin Jubair Radhiyallahu anhu mengatakan, “Dunia itu adalah kesenangan yang menipu, jika dunia melalaikanmu dari mencari akhirat. Namun jika dunia itu mengajakmu untuk mencari ridha Allah Azza wa Jalla dan mencari kebaikan akhirat, maka dunia itu sebaik-baik kesenangan dan sarana."³

Maka dunia itu tidak akan pernah membentuk ketaatan bagi seseorang hamba, sejatinya ia hanyalah ujian di sepanjang usia manusia. Siapa yang terlewat darinya dunia dan ia fokus terhadap perintah Allah serta tetap membangun ketaatan, maka sungguh ia adalah pemenang atas usia yang dikaruniaman Allah kepadanya.
Semoga Allah meridhai kita dalam usaha ketaatan untuk mendapatkan Surga.
______________

1. Rumaysho.com [pentingnya ilmu agama]
2. Kitabul ‘Ilmi, hal. 21.
3. [Diringkas dari Tafsîr Rûhul Ma’âni, 20/335] source: almanhaj.com [hakikat dunia]

Menyelami Nikmatnya Jalan Pulang, MenujuNyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang